Tadi malam, saya dan Nikotopia
menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku Gramedia di Pejaten Village, Jakarta
Selatan. Rencananya sih mau beli novel. Cukup lama muter-muter di toko buku
itu, karena bingung mau memilih novel yang mana. Ada novel terjemahan yang
bagus-bagus, ada juga novel romance Indonesia yang bikin ngiler. Sempet
kepikiran mau beli dua novel. Akhirnya setelah mikir beberapa menit, beli satu
novel dulu saja deh, enggak usah beli dua. Mengingat ada 40 novel yang belum dibaca, numpuk di lemari rumah saya. Niko beli satu novel dan juga satu komik
yang sudah lama diincarnya.
Sebelum
pulang, kami mau makan malam dulu. Karena mall
sudah mau tutup, agak kebingungan mau makan di mana, sampai kami naik-turun
eskalator segala. Di seberang mall
pun cuma ada warung bubur kacang ijo. Duh, kalau enggak makan nasi, bisa-bisa
lapar lagi saat perjalanan pulang. Kami pun lega karena ternyata masih ada
restoran piza yang masih buka di lantai 1, di dekat pintu keluar.
Di dalam restoran piza
itu kami makan sambil mengeluarkan buku-buku yang kami beli di toko buku. Saya
baru saja mengeluarkan uang untuk mengganti harga novel yang telah dibayar Niko
terlebih dulu saat di kasir toko buku, namun ternyata dengan tegas Niko
menolak. Ia menggeleng dan mendorong tangan saya.
“Jangan. Gue sengaja
beliin novel ini… buat kado ulang tahun lo.” Begitu katanya.
“Tapi, Nik…”
“Udaaah, terima aja.
Semoga dengan baca novel ini, lo jadi punya referensi buat lomba nulis novel.”
Lalu kami melanjutkan makan
piza sambil ngobrol-ngobrol ringan dan lumayan serius. Niko juga mengajak cheers. Dalam hati saya bergemuruh oleh
rasa haru, karena tidak menyangka akan dihadiahi kado ulang tahun.
“Untuk ulang tahun
Andhika Rahmadian. Semoga cita-citanya untuk menang lomba kepenulisan novel
bisa tergapai. Semakin cerdas, tegas, dan rendah hati!”
Kami meminum soda dengan
sukacita. Saya membahas tentang ulang tahun saya, dan berpendapat bahwa hari
ulang tahun ibarat tempat singgah sejenak untuk melanjutkan perputaran
kehidupan berikutnya. Dari satu angka ke angka berikutnya, apa saja yang sudah
saya lakukan dari angka sebelumnya ke angka yang sekarang. Tapi, saya juga yakin
kok. Bahwa angka tetaplah angka. Waktu itu seperti ilusi. Kedewasaan,
kebijaksanaan, dan kerendahhatian seseorang tidak bisa diukur pasti melalui
usianya.
Kami pulang melintasi
jalan-jalan yang sama sampai berpisah di Pakubuwono. Dalam kesendirian
perjalanan pulang, alam semesta seakan memberi pertanda baik. Selalu lampu
hijau yang saya lewati, seakan-akan saya diberi kelancaran. Saya berpikir,
betapa beruntungnya saya dalam setahun belakangan ini. Selalu diberi
kepercayaan dan kesempatan, meski saya melaluinya bukan tanpa kerja keras. Urusan
pekerjaan di bidang kepenulisan skenario terbilang lancar. Begitu pula sepak
terjang saya untuk menembus salah satu penerbit besar. Saya tidak punya apa-apa
selain membawa kegigihan dan pengorbanan untuk mewujudkan cita-cita. Saya juga
tidak menyangka, kenapa bisa semudah ini saya menggapainya. Tuhan mengirim
orang-orang baik hati ke dalam kehidupan saya.
***
Dua puluh lima.
Menurut saya pribadi,
angka dua puluh lima itu sexy. Dua puluh lima tahun, adalah seperempat abad.
Saya hampir tidak percaya sudah menapaki usia sepanjang ini. Melewati masa
kanak-kanak, remaja, dan sekarang sudah membuka gerbang kedewasaan. Di mana
saya semakin mendapatkan pelajaran bermakna tentang kehidupan ini. Tentang
keberagaman pikiran manusia, dan pandangan mereka tentang hidup dan tuhan; juga
hikmah-hikmah di balik setiap musibah.
Mungkin karena saya sudah
sering mengalami ulang tahun, jadi sudah tidak terlalu antusias menyambutnya.
Tapi, meski tanpa kue dan lilin, di dalam hati saya sebagai manusia, tentunya
masih ada harapan dan sekeping doa untuk diri. Kalau untuk kebahagiaan
eksternal, saya ingin jadi lelaki yang mapan supaya bisa membeli barang-barang
yang saya inginkan, juga merenovasi rumah. Kalau untuk kebahagiaan internal,
saya ingin mendapat tempat terindah di dalam hati para pembaca buku saya kelak,
dan yang tak kalah pentingnya adalah, saya bisa menemukan belahan jiwa saya.
Seseorang yang mencintai dan juga menerima cinta dari saya, menerima saya apa
adanya, juga bisa kompak dalam menghadapi setiap manis-getir kehidupan.
Mungkin saat ini saya
masih tertatih-tatih dalam urusan asmara, dan masih belum bisa menemukan
seseorang yang pas untuk menjadi bagian dari hidup saya. Tapi setidaknya saya
belajar untuk mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan untuk saya, untuk saat
ini. Ada banyak orang-orang yang memberi saya perhatian dan kasih sayang, juga
berani untuk mengkritik saya dengan jujur, dan mencintai saya dengan tulus. Saya
terharu, sejak tengah malam ponsel saya tak berhenti berdering. Sms, BBM, atau
ada yang mengirim ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa terindah di Twitter
atau Facebook. Rasanya seperti mendapatkan pelukan kasih sayang yang
bertubi-tubi dari segala penjuru. Mereka baik sekali. Ah, indahnya perasaan ini….
Hari, ini saya merasa
berbahagia. Andhika Rahmadian yang sedang menikmati hari pertama di usia dua
puluh lima. Dan belajar semakin menghormati setiap detik yang berharga.***
Jakarta, 1 Mei 2013
17:51 WIB
Posted by Unknown in Diary Dhika
Pages
Powered by Blogger.