Behind The Scene Trailer Novel Pacar Ketiga

Di lokasi pembuatan video trailer novel Pacar Ketiga.



Kalau ada orang yang paling antusias dengan terbitnya novel saya, Pacar Ketiga, dia adalah Nikotopia. Yap, partner in crime saya dalam menulis skenario. Sejak tahu novel saya akan terbit di Gramedia Pustaka Utama, justru Niko yang rajin ngeluarin ide-ide dari kepalanya, tentang bagaimana mempromosikan novel ini.
            “Ayo, Dhik, bikin trailer novelnya! Biar bisa merangkul banyak calon pembacamu.” Begitu kata Niko.
Tadinya saya nggak kepikiran sama sekali tentang membuat trailer novel. Tapi karena akhirnya saya sadar bahwa marketing itu penting dalam sebuah industri penerbitan, saya setuju- dengan ide membuat trailer novel. Ya meski nggak heboh-heboh amat, paling tidak dari penulisnya sendiri ada effort untuk menyebar informasi bahwa karyanya terbit. Nah, semakin banyak yang tahu maka semakin besar kemungkinan orang mau membeli karya kita.
Dan berhubung saya orangnya nggak enakan, sebisa mungkin saya maunya nggak bikin Niko repot. Soalnya ide-ide dia, semakin bagus maka semakin susah pembuatannya.
“Disederhanakan aja, Niko. Gak perlu susah-susah bikinnya. Yang penting informasinya jelas.”
Masukan saya itu ditolak mentah-mentah, karena Niko nggak mau setengah-setengah dalam membantu bikin trailer novel. Dia mau hasilnya bagus. Akhirnya saya cuma bisa ngalah dan pasrah aja deh, maunya Niko gimana, siapa tau aja hasilnya emang keren! Hehehehe.
Hari Sabtu yang lalu, 17 Januari, saya pun naik motor menuju rumah Niko di daerah BSD Tangerang. Untuk apa lagi kalau bukan pengerjaan trailer novel. Sesampainya di rumah Niko, kami berdua berdiskusi seru tentang bikin trailer novel Pacar Ketiga. Niko pengin banget bikin stopmotion, tapi saya tahu bikin stopmotion itu pasti capek!
Nah, sedangkan bayangan saya adalah, cukup merekam video di tengah-tengah ilalang di saat senja. Dan saya kepikiran untuk bikin kertas-kertas berbentuk simbol love, dengan tulisan di tengahnya. Nantinya kertas berbentuk love itu akan ditempel di tiap batang ilalang. Nggak nyangka, ternyata Niko menyambut antusias ide ini. Sementara itu, langit di luar rumah Niko mendung, sehingga kami harus buru-buru. Sebelum senja benar-benar tidak bisa kami temui karena kemungkinan hujan yang akan segera turun.

Saya dan ilalang. Foto apik bidikan Nikotopia.

Kami beres-beres untuk membawa keperluan “syuting”. Buku-buku, peralatan tulis, gunting, double tape, kertas, power bank, bantal kecil berbentuk love, bahkan tongsis! Nah, dikarenakan saya belum punya buku fisik Pacar Ketiga, maka Niko mengajak saya dulu ke tempat print di dalam mal dekat rumahnya. Kami nge-print cover Pacar Ketiga (depan-belakang) di kertas glossy. Lumayan bikin mbak-mbaknya kepo dan nanya Niko, “Apaan nih, Pacar Ketiga?” Setelah Niko ngasih penjelasan, eh si mbak yang baik hati itu malah mau beli novelnya nanti kalau sudah beredar di toko buku. Terima kasih atas kebaikanmu, Mbak, semoga akhir bulan ini gajimu naik.
Setelah print cover, Niko pun menyulapnya dengan menempelkan print cover itu di novel lain. Jadi novel Looking For Alibrandi-nya Melina Marchetta untuk sementara cover-nya dibajak dulu dengan cover Pacar Ketiga! Xixixixixi….
            Sebelum kami berangkat ke lokasi syuting, kami mengisi perut dulu di sebuah warung nasi Sunda. Untuk ukuran tempat makan yang sederhana itu, menu yang saya makan cukup nikmat: nasi, kulit melinjo, sayur daun singkong, telor asin, terong ijo, dan sambel. Minumnya teh manis hangat. Niko juga menikmati makannya yaitu nasi, sayur-sayuran dan tempe. Suasana makan yang sungguh syahdu, ditemani lagu dangdut di radio berjudul “Cabe-cabean” yang saya sendiri nggak tahu siapa penyanyinya. Sedang lagu sebelumnya adalah “Sopir Taksi dan Gadis Desa” yang saya tahu betul bahwa lagu itu dinyaniin sama Iis Dahlia dan… (bentar, googling dulu) Yus Yunus, hihihi….
            Setelah kami membayar bill (yaelah bill), kami pun segera meluncur menuju Alam Sutera. Saya yang mengendarai motor, sementara Niko dibonceng sambil membidik pemandangan di sepanjang jalan dengan kamera ponsel pintarnya. Cahaya senja sudah mulai tiba, itu sekitar pukul lima sore. Akhirnya kami tiba di sebuah lapangan rumput yang luas, yang tidak ada siapa-siapa di situ sehingga membuat kami leluasa untuk melakukannya. Melakukan syuting. 

Menyiapkan kertas dan peralatan tulis.


            Semua alat tempur disiapin. Niko berkutat dengan kameranya, sembari mencari tempat-tempat yang tepat untuk pengambilan gambar. Sementara saya mengeluarkan kertas A4 beserta alat-alat tulis. Saya lalu membuat pola dengan pensil lalu mengguntingnya sesuai bentuk yang diinginkan. Misalnya satu kertas yang saya gunting sehingga membentuk simbol love,  segera saya tulisi kata “rahasia”, dan lain-lainnya. Ternyata saya nggak sadar bahwa Niko diam-diam ngelakuin candid. Dia juga minta saya untuk selfie bareng, tujuannya ya buat keperluan behind the scene trailer ini. Niko menjalankan perannya sebagai sutradara handal di sini, hehehehe. 

Selfie bareng novel Pacar Ketiga.

            Yang paling kocak, adalah ketika saya diminta untuk mengangkat tinggi-tinggi bantal kecil berbentuk love itu, sedangkan Niko mengitari saya sambil merekam video. Saya sempat melirik di kejauhan sana, ada bapak-bapak yang melihat ke arah kami. Saya sampe ngakak sendiri mikirin apa yang terlintas di kepala bapak itu; dua cowok di tengah lapangan kosong, yang satu megang bantal love dan satunya lagi muter-muter megang hape. Tapi kita cuek tuh.
            Daaan ketika syuting hampir kelar, tiba-tiba gerimis turun dan kami berdua buru-buru menyelesaikan kegiatan seru itu. Gerimis itu sudah menjelma jadi hujan yang sangat deras, kami bersyukur karena masih keburu membereskan peralatan ke dalam tas. Akhirnya kami menuju Living World Alam Sutera, yang jaraknya cuma ditempuh lima menit. Sesampainya di parkiran, kami ngelap-ngelap lengan dan bagian badan yang terkena air hujan, walau ala kadarnya tapi tetap senang karena masih bisa berteduh. 

Di parkiran. Yang satu selfie, yang satunya lagi ngelap-ngelap.

            Jadilah muter-muter di dalam mal tanpa direncana. Dan karena lapar lagi, kami makan di Kenny Rogers Roasters. Sambil ngobrol dan ngakak-ngakak, nggak lupa pula Niko memanfaatkan waktu untuk mengedit video syuting trailer di ponselnya. Begitu Niko menunjukkan hasilnya, saya dibuat kagum karena keindahan gambar yang dihasilkan. Ya, Niko memang memberi banyak unsur pemanis di video trailer ini. Dimulai dari bantal merah sampai buku-buku yang dibuat berjajar di rumput, dan masih banyak lagi. Oh iya, berhubung masih rough cut, jadi Niko masih perlu mengeditnya lagi di rumah. 
            Itulah sepenggal cerita di balik pembuatan trailer novel Pacar Ketiga. Terima kasih banyak buat Niko, dorongan dan antusiasme dialah yang akhirnya bisa menggerakkan saya untuk mau membuat trailer novel. Dan tadaaa inilah dia video behind the scene trailer novel Pacar Ketiga. Segera disusul dengan full trailer-nya, ya! Cekibrooot!
           

Menulis Skenario Kisah 9 Wali

Pada bulan April 2014, salah seorang script editor yang biasa mengedit skenario saya, Dewi Pramita, memberi kabar melalui whatsapp. Dia bilang saya ditunjuk sebagai salah satu penulis program terbaru Trans TV yang katanya akan mengangkat kisah tentang walisongo. Itu adalah program yang akan tayang di bulan ramadan. Saya cukup kaget dan agak ragu untuk menerima tawaran itu. Belum lagi, saya agak terbebani dengan cerita tentang walisongo. Menerima keputusan untuk menulis cerita walisongo adalah sebuah keharusan untuk menggarapnya semaksimal mungkin. Karena, ini berkaitan dengan sejarah. Dan, dalam proses menulisnya pun, haruslah banyak membaca dan mengorek informasi lebih mendalam, tentang sejarah walisongo.

Dua kali saya ragu untuk menerima tawaran menulis skenario yang dilabeli judul Kisah 9 Wali ini, yang terdiri dari 30 judul yang berbeda-beda cerita di tiap judulnya. Tapi hati kecil saya mengatakan, ini adalah kesempatan sekaligus tantangan untuk menjawab kepercayaan yang diberikan untuk saya. Lagian, nggak enak banget kalau kesempatan emas ini disia-siakan begitu saja. Toh kalau saya hanya stak di genre tulisan yang itu-itu saja, kapan saya bisa berkembang? Akhirnya saya pun mengiyakan untuk menjadi salah satu penulis skenario Kisah 9 Wali.

Jumlah penulis yang dipilih oleh Team Drama Trans TV berjumlah 6 orang. Saya salah satunya, ada juga Mas Erry Sofid, Mbak Nunik Kurnia, Mas Eka Kurniawan, Mas Raditya, dan Mbak Ullie Enes. Masing-masing diberi jatah judul yang harus digarap. Kami pun melakukan meeting terlebih dahulu, mengenai konsep Kisah 9 Wali akan dibuat seperti apa.

Dalam waktu kira-kira sebulan, saya mengerjakan lima judul Kisah 9 Wali; Ki Jagabaya Tobat, Nyi Rara Santang Masuk Islam, Sunan Ampel dan Nyi Ageng Manila, Sunan Ampel dan Kebun Singkong Emas, Sunan Bonang dan Pandita Guptaja. Proses menulis skenario Kisah 9 Wali saya akui cukup menantang dan bisa dibilang agak sulit, karena detail-detail fakta yang sangat dibutuhkan untuk membuat background karakter dan juga setting, juga nama-nama tokohnya.

Sebulan lamanya saya sibuk, saya memfokuskan perhatian sepenuhnya untuk Kisah 9 Wali, sampai-sampai saya kurang menjaga kesehatan dan sempat mengalami panas dalam. Untung saja tidak membuat saya nge-drop.

Saya beruntung, karena kerja team dengan script editor yang baik hati, Mbak Anissa Pandansari. Beliau banyak membantu saya dalam berdiskusi tentang plot dan juga karakter-karakter dalam skenario. Saya cukup sering telat setor naskah karena melewati deadline yang ditentukan. Hehehe...

Setelah naskah demi naskah dirampungkan dan syuting pun dilaksanakan, Gala Premiere pun dilaksanakan pada tanggal 20 Juni yang lalu, di Blitz Megaplex Grand Indonesia. Acara itu dihadiri oleh banyak undangan, dan disambut oleh Bapak Menteri Pendidikan kita, Mohammad Nuh. Senang rasanya Kisah 9 Wali mendapat apresiasi yang sangat baik.

Setelah kerja keras bersama team dalam memproduksi program 9 Wali, kini tayangan tersebut sudah bisa ditonton selama bulan ramadhan. Setiap hari pukul 21.30 WIB hanya di Trans TV. Saya beruntung bisa mendapat kepercayaan untuk menulis Kisah 9 Wali. Saya sangat-sangat berterima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan oleh para script editor tercinta; Mbak Ratih Kumala, Mbak Anissa Pandan Sari, dan Dewi Pramita. Dari mereka saya banyak belajar, dan dari mereka pula saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak bisa dipelajari. Terlebih lagi jika kita bisa melakukannya bersama-sama.


Poster Kisah 9 Wali

Narsis berdua Mbak Ratih Kumala :)

Pesan Moral Dari Sebuah Dompet




Sabtu pagi, 4 Januari 2014, saya membuka lemari hendak mengambil dompet karena mau membeli sesuatu. Rutinitas membuka lemari untuk mengambil dompet adalah sesuatu yang sangat biasa dan membosankan, bahkan tak jarang saya melakukannya tanpa konsentrasi. Tapi, ternyata pagi itu benar-benar nggak biasa. Dompet… dompet… lho kok dompetnya nggak ada? Saya ubek-ubek seisi lemari, nggak ketemu juga itu dompet. Saya cari di saku jeans yang semalam saya pakai. Juga nggak ketemu. Dompet saya hilang! Nyokap pun marah-marah karena kecerobohan saya. Gimana bisa sih dompet sendiri ilang?  Nyokap juga mengungkit kebiasaan saya yang sering sembarangan menaruh dompet di atas mesin cuci, tv, dan tempat mencolok lainnya yang memungkinkan untuk terlihat oleh sepasang mata maling.

Awalnya saya yakin kalau dompet saya paling juga nyelip di mana, gitu. Jatuh ke kolong tempat tidur misalnya, atau ngumpet di balik lemari. Malah saya curiga jangan-jangan dompet saya dipindahin sama si Siti (nama gaulnya tikus). Intinya masih ada di dalam rumah, deh. Tapi setelah beberapa jam mencari dompet tanpa hasil, saya pun percaya kalau… dompet itu terjatuh di jalan di malam sebelumnya, saat saya pulang kerja.

Yang terakhir saya ingat, dompet itu nggak mungkin ketinggalan di kantor, karena sepulang dari kantor saya masih menyempatkan diri mengisi bensin di Pertamina Mampang VIII. Setelah itu, saya nggak ingat lagi. Mungkin dompet nggak saya masukkan dengan benar, sehingga mungkin tergelincir keluar dari saku pada saat saya mengendarai motor menuju rumah.

Mengetahui kenyataan “pahit” itu, bahwa dompet saya resmi hilang, saya terpaksa mendatangi Polsek terdekat untuk melaporkan dompet saya yang hilang. Setelah menjalani pemeriksaan, saya pun menerima Surat Tanda Penerimaan Laporan Barang dan Surat-Surat dari Pak Polisi. Surat itu nantinya akan saya bawa untuk mengurus penggantian KTP & STNK,  pemblokiran ATM, dll.

Pulang ke rumah saya melanjutkan revisi skenario FTV yang belum selesai, dan deadline jatuh pada Minggu pagi. Semalaman itu saya berusaha konsentrasi mengerjakan tugas itu, tanpa memusingkan masalah dompet yang hilang. Bahkan masih sempat-sempatnya update status di Twitter melalui akun saya @rahmadianovel: “Andhika ceroboooh :’(“ yang langsung dibalas oleh dua sahabat dengan kepedulian dan kekepoan, hihihi: @k_anggara dan @call_momo. Bahkan @k_anggara mendoakan semoga saya bisa mendapatkan yang lebih baik, yang tentu saja saya aminkan. 

Saya berusaha ikhlas, semua toh sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, bubur sudah menjadi kuah. Nggak perlu panik, menyesal atau menyalahkan diri sendiri. Kejadian dompet hilang pasti sudah pernah dialami oleh banyak orang, saya hanya berusaha menyelesaikan masalah ini dengan baik. Toh, di balik masalah ini akan ada hikmah yang bisa saya petik, misalnya bagaimana agar saya lebih berhati-hati lagi di kemudian hari dalam menjaga barang-barang saya. Saya menganggap ini adalah tantangan kecil yang harus dihadapi, apakah saya bisa fokus menulis di tengah rasa pusing yang terkadang melanda karena dompet hilang. Dan juga, teguran kecil dari Tuhan, supaya saya nggak ceroboh terus-terusan.

Ketika deadline sudah saya tunaikan pada hari Minggu pagi, saya pun tidur untuk mengistirahatkan badan sekaligus pikiran. Hari Senin telah menanti di mana saya harus mendatangi kantor Kelurahan untuk mengurus KTP, lalu ke bank untuk melaporkan ATM yang hilang, disusul kemudian ke kantor tempat saya mengkredit motor untuk melaporkan STNK yang hilang juga. Izinlah saya ke atasan kalau hari Senin saya nggak bisa ngantor. Seharian itu proses yang harus dijalani lumayan ribet dan bikin pusing. Malah, saya diharuskan untuk cek fisik kendaraan segala di Samsat, pada hari Rabu. Hadeuh....

Senin yang memusingkan itu berlalu pada sore hari. Saya santai di rumah sambil membaca novel, dan mencicil menulis novel teenlit yang sedang saya usahakan untuk segera rampung.

Tadi pagi saya berangkat ke kantor dengan pikiran yang agak terganggu dengan dompet saya yang hilang itu. Padahal saya sudah berusaha mengikhlaskan. Tapi, yang menjadi penyebab kesebalan di dalam diri saya adalah bahwa saya kudu berurusan dengan birokrasi. Nyokap nggak henti-hentinya menasehati agar lain kali saya nggak ceroboh, bla... bla... bla... Saya mengiyakan saja dengan manut, dalam hati merasa malu dengan kecerobohan ini.

Berangkatlah saya ke kantor sambil mendengarkan musik di perjalanan. Daaan… setibanya saya di kantor dalam keadaan hampa kayak orang kebanyakan utang, saya menerima sms dari nyokap: “Alhamdulillah, dompet kamu ada yang ngirim lewat pos!!!”

Hampir nggak percaya saya membacanya. Si pengirim dompet yang berhati malaikat itu nggak mencantumkan namanya, karena dikirim atas nama perusahaan yang beralamat di Jl. M.I Ridwan Rais, Gambir, yaitu PT. ROTO ROOTER PERKASA. Siapa pun yang mengirim dompet itu, saya doakan semoga Tuhan membalas kebaikannya. Kalo dia jomblo, lekas carikan jodoh untuknya Tuhan....

Alhamdulillah... Emejing banget dompet yang sudah saya relakan kepergiannya, ternyata balik lagi ke dalam kehidupan saya (jiaaah, lebay :p). Gue yakin nyokap di rumah juga pasti lagi jejingkrakan, hahahaha....

Terima kasih Tuhaaan... Hari ini saya happyyyyy.... :*

NB: Dompet ini adalah kenang-kenangan dari salah seorang sahabat saya, Naminist Popy. Nami, dompet dari kamu nggak jadi ilang, hehehe. :)



Selasa, 7 Januari 2014
18:00 WIB





Keep Calm and Happy Birthday to Me!



Tadi malam, saya dan Nikotopia menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku Gramedia di Pejaten Village, Jakarta Selatan. Rencananya sih mau beli novel. Cukup lama muter-muter di toko buku itu, karena bingung mau memilih novel yang mana. Ada novel terjemahan yang bagus-bagus, ada juga novel romance Indonesia yang bikin ngiler. Sempet kepikiran mau beli dua novel. Akhirnya setelah mikir beberapa menit, beli satu novel dulu saja deh, enggak usah beli dua. Mengingat ada 40 novel yang belum dibaca, numpuk di lemari rumah saya. Niko beli satu novel dan juga satu komik yang sudah lama diincarnya.
            Sebelum pulang, kami mau makan malam dulu. Karena mall sudah mau tutup, agak kebingungan mau makan di mana, sampai kami naik-turun eskalator segala. Di seberang mall pun cuma ada warung bubur kacang ijo. Duh, kalau enggak makan nasi, bisa-bisa lapar lagi saat perjalanan pulang. Kami pun lega karena ternyata masih ada restoran piza yang masih buka di lantai 1, di dekat pintu keluar.
Di dalam restoran piza itu kami makan sambil mengeluarkan buku-buku yang kami beli di toko buku. Saya baru saja mengeluarkan uang untuk mengganti harga novel yang telah dibayar Niko terlebih dulu saat di kasir toko buku, namun ternyata dengan tegas Niko menolak. Ia menggeleng dan mendorong tangan saya.
“Jangan. Gue sengaja beliin novel ini… buat kado ulang tahun lo.” Begitu katanya.  
“Tapi, Nik…”
“Udaaah, terima aja. Semoga dengan baca novel ini, lo jadi punya referensi buat lomba nulis novel.”
Lalu kami melanjutkan makan piza sambil ngobrol-ngobrol ringan dan lumayan serius. Niko juga mengajak cheers. Dalam hati saya bergemuruh oleh rasa haru, karena tidak menyangka akan dihadiahi kado ulang tahun.
“Untuk ulang tahun Andhika Rahmadian. Semoga cita-citanya untuk menang lomba kepenulisan novel bisa tergapai. Semakin cerdas, tegas, dan rendah hati!”
Kami meminum soda dengan sukacita. Saya membahas tentang ulang tahun saya, dan berpendapat bahwa hari ulang tahun ibarat tempat singgah sejenak untuk melanjutkan perputaran kehidupan berikutnya. Dari satu angka ke angka berikutnya, apa saja yang sudah saya lakukan dari angka sebelumnya ke angka yang sekarang. Tapi, saya juga yakin kok. Bahwa angka tetaplah angka. Waktu itu seperti ilusi. Kedewasaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatian seseorang tidak bisa diukur pasti melalui usianya.
Kami pulang melintasi jalan-jalan yang sama sampai berpisah di Pakubuwono. Dalam kesendirian perjalanan pulang, alam semesta seakan memberi pertanda baik. Selalu lampu hijau yang saya lewati, seakan-akan saya diberi kelancaran. Saya berpikir, betapa beruntungnya saya dalam setahun belakangan ini. Selalu diberi kepercayaan dan kesempatan, meski saya melaluinya bukan tanpa kerja keras. Urusan pekerjaan di bidang kepenulisan skenario terbilang lancar. Begitu pula sepak terjang saya untuk menembus salah satu penerbit besar. Saya tidak punya apa-apa selain membawa kegigihan dan pengorbanan untuk mewujudkan cita-cita. Saya juga tidak menyangka, kenapa bisa semudah ini saya menggapainya. Tuhan mengirim orang-orang baik hati ke dalam kehidupan saya.
***
Dua puluh lima.
Menurut saya pribadi, angka dua puluh lima itu sexy. Dua puluh lima tahun, adalah seperempat abad. Saya hampir tidak percaya sudah menapaki usia sepanjang ini. Melewati masa kanak-kanak, remaja, dan sekarang sudah membuka gerbang kedewasaan. Di mana saya semakin mendapatkan pelajaran bermakna tentang kehidupan ini. Tentang keberagaman pikiran manusia, dan pandangan mereka tentang hidup dan tuhan; juga hikmah-hikmah di balik setiap musibah.
Mungkin karena saya sudah sering mengalami ulang tahun, jadi sudah tidak terlalu antusias menyambutnya. Tapi, meski tanpa kue dan lilin, di dalam hati saya sebagai manusia, tentunya masih ada harapan dan sekeping doa untuk diri. Kalau untuk kebahagiaan eksternal, saya ingin jadi lelaki yang mapan supaya bisa membeli barang-barang yang saya inginkan, juga merenovasi rumah. Kalau untuk kebahagiaan internal, saya ingin mendapat tempat terindah di dalam hati para pembaca buku saya kelak, dan yang tak kalah pentingnya adalah, saya bisa menemukan belahan jiwa saya. Seseorang yang mencintai dan juga menerima cinta dari saya, menerima saya apa adanya, juga bisa kompak dalam menghadapi setiap manis-getir kehidupan.
Mungkin saat ini saya masih tertatih-tatih dalam urusan asmara, dan masih belum bisa menemukan seseorang yang pas untuk menjadi bagian dari hidup saya. Tapi setidaknya saya belajar untuk mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan untuk saya, untuk saat ini. Ada banyak orang-orang yang memberi saya perhatian dan kasih sayang, juga berani untuk mengkritik saya dengan jujur, dan mencintai saya dengan tulus. Saya terharu, sejak tengah malam ponsel saya tak berhenti berdering. Sms, BBM, atau ada yang mengirim ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa terindah di Twitter atau Facebook. Rasanya seperti mendapatkan pelukan kasih sayang yang bertubi-tubi dari segala penjuru. Mereka baik sekali. Ah, indahnya perasaan ini….
Hari, ini saya merasa berbahagia. Andhika Rahmadian yang sedang menikmati hari pertama di usia dua puluh lima. Dan belajar semakin menghormati setiap detik yang berharga.***

Jakarta, 1 Mei 2013
17:51 WIB  

Pages

Powered by Blogger.

Blogger templates