Malam ini udara menyebarkan hawa dingin hingga membuat
sweater yang kukenakan nyaris tidak
ada gunanya sama sekali. Maklum, hampir sepanjang hari ini Jakarta diguyur
hujan yang meski tidak dihiasi petir, namun tak kunjung reda.
Aku
bersyukur hujan tidak mengguyurku saat pulang ke rumah saat ini. Tanpa sadar,
aku menggigil dan masih terus melangkahkan kaki dengan tangan bersidekap di
dada, kepala agak kutundukkan.
Seperti
biasa, perkampungan tempatku tinggal selalu dihiasi anak-anak kecil yang
duduk-duduk manis bersama-sama di bangku kayu panjang berlapis kardus yang
menjadi penghias gapura di muka gang. Ada juga seorang ibu yang sengaja
menjegat pedagang sekoteng, demi sekedar menghangatkan badan.
Seperti
api lilin di gerobak sekoteng yang berpendar melawan dinginnya malam setelah
hujan, tubuh yang menggigil ini seperti dialiri energi begitu dihempas peluk
dan cium pipi kanan-kiri dari kedua adikku yang masih kecil-kecil. Yang sulung,
Nisa, usianya enam tahun. Dan si bungsu, Fikri, usianya tiga tahun. Kedua bocah
ajaib ini sangat manja kepadaku.
“Bang
Ilham pulang!!! Hore…, Bang Ilham pulang!!!” seru Fikri senang, menyebut-nyebut namaku.
“Jajan
dong nih…? Kata Ibu, Abang gajian hari ini!” celetuk Nisa getol.
“Tapi
Abang mau mandi dan sholat dulu ya. Badan Abang udah bau ayam kampung nih!”
“Huuuuh…,”
Nisa cemberut manja.
“Nisa,
Fikri, biarin kakak kalian mandi dulu. Nanti kalian juga jadi diajak ke warung,”
kata ibuku yang muncul dari dalam kamarnya, menyadari kegaduhan kecil ini.
Mereka menuruti perkataan Ibu.
Aku
mencium tangan Ibu. Ibu lalu menoleh ke arah adikku selain Nisa dan Fikri.
Dialah Fina, adik pertamaku yang sudah duduk di bangku SMA. Fina yang sedang
asyik-asyikan nonton film di tv tanpa sedikit pun menghiraukan kedatanganku,
sontak menoleh ketika Ibu menyebut namanya.
“Fin…
masakin air panas, tuh, buat kakakmu. Biar dia mandi air hangat, kasihan pasti
kedinginan karena hujan.”
“Ya.”
Dengan agak malas-malasan, Fina pun bangkit dari sofa, dan berjalan menuju
dapur.
Aku
menghempaskan pantat di kursi butut ruang tamu ini. Lelah rasanya setelah
seharian bekerja, menghabiskan masa mudaku di Percetakan Amanah, sebuah
percetakan sederhana yang dinaungi penerbitan buku-buku pelajaran sekolah,
khususnya TK dan SD. Kerjaku menyusun dan merunut halaman demi halaman dari
tiap-tiap lembar yang akan dirapikan di mesin. Atau mengangkuti tumpukan
buku-buku yang sudah jadi menuju mobil milik percetakan, yang biasanya
mengantar langsung buku-buku itu untuk didistribusikan ke daerah-daerah. Seharian
aku duduk di meja bersama lima orang staf senasib-sepenanggungan lainnya,
menahan gerah dan pegal di punggung, dan baru merasakan sejuk di saat jam
istirahat yang selalu digunakan untuk makan dan sholat.
Ajaibnya,
tempatku bekerja yang semula kusetarakan dengan tempat fotokopi atau warnet,
yang dengan seenaknya saja bagi karyawannya untuk hanya memakai sandal jepit
dan kaos oblong, di tempat ini justru tidak. Kami seolah harus terlihat elit
bagi orang-orang luar yang melihat. Bayangkan, kami harus memakai sepatu.
Begitu
aku tersadar dari buaian lamunanku, ada wajah Ibu yang menyiratkan rasa
penasaran.
“Kok
melamun? Cepatlah mandi....”
Aku
bangun dari tempatku duduk.
“Bang…
air panasnya udah siap nih!!!” teriak Fani dari dalam.
“Iya....”
sahutku.
“Oh
iya Ilham,” panggil ibuku tiba-tiba. “Nanti selesai sholat, ibu mau ngomong
sama kamu.”
***
Aku
sudah duduk di meja makan. Rambutku masih menebar aroma shampo karena baru saja
mandi dan sholat. Semangkuk mie rebus rasa ayam bawang terhidang di hadapanku.
Dihiasi telur dan irisan cabe rawit. Ditambah sedikit nasi dan segelas besar
teh manis panas. Beginilah keluarga kami. Sederhana, tapi tetap terasa mewah
andai kau melihatnya disertai rasa syukur.
“Katanya
Ibu mau ngomong,” celetuk bibirku di sela-sela kegiatan makan ini.
Aku
berkata begitu karena sejak tadi ekor mataku menangkap Ibu yang memandangiku
dari seberang meja, walau kutahu dia sedang menyisir.
“Makan
dulu saja, lah. Ini bukan hal baru buat kamu.”
“Nggak
pa-pa, bilang aja,” desakku tak sabar sebelum kuhirup hati-hati teh manis yang
masih mengepul itu. “Kalo Ilham bisa bantu, Ilham bantu kok Bu,” kataku.
Ibu
diam sebentar, dan malah menggumam: “Kapan ya, Ilham, kita sekeluarga terbebas
dari kesusahan hidup ini… Kalau aja Bapak masih sehat dan nggak sakit-sakitan,
mungkin kamu bisa kuliah dan bukan malah kerja bantuin adik-adik kamu!”
Aku
justru tersenyum mendengarnya.
“Justru
kesusahan ini harus kita anggap sebagai ujian dari Allah. Yang musti kita
jadiin motivasi supaya kita bisa mengubahnya menjadi kemudahan. Batu di tengah
jalan nggak akan bisa bikin langkah kita terhenti karena kita bisa
menyingkirkannya ke tepi. Lagian kadang aku ngerasa bangga juga kok bisa
nyekolahin Fina dan Nisa. Aku jadi tau gimana susahnya cari duit.”
Kenyataannya
pribadiku bertentangan dengan apa yang kuucapkan barusan. Aku yang mudah bad mood, dan sering mengecilkan diri sendiri,
bisa bicara seperti ini kepada ibuku. Dan ketahuilah, ibuku, mungkin engkaulah
satu-satunya orang yang membuatku mendadak menjadi kuat bagaikan tombak yang
kokoh, mendadak selalu berpikir positif dan yakin aku bisa melewati ini semua.
“Minggu
depan Fina harus melunasi SPP-nya selama tiga bulan. Empat ratus delapan puluh
ribu. Belum lagi bulan depan mesti ikut bimbel, empat ratus ribu. Heran, dunia
pendidikan kita kok seperti ini, ya. Apa sekolah gratis itu hanya ada di negeri
dongeng? Negeri impian?”
“Ya
udah, Ilham habisin makan dulu ya, Bu. Ibu tenang aja, SPP Fina biar Ilham yang
ngurusi,” sahutku enteng.
Sepuluh
menit sesudahnya, setelah aku menggosok gigi, kusibak tirai merah tua bergambar
angsa terbang di ambang pintu kamar Ibu, dan kuhampiri dia yang sedang duduk di
tepi pembaringan sambil memperhatikan dengan saksama kalender meja di
tangannya. Ada ayahku yang masih pulas tertidur di belakang tubuh Ibu. Kasihan,
walau kesehatannya sudah mulai membaik, tapi dia masih terlihat lesu karena
penyakit ginjal yang dialaminya. Aku duduk di sebelah Ibu dan kuserahkan amplop
putih yang sejak tadi kupegang untuknya.
“Buat
SPP Fina. Sama nebus obat buat Ayah.”
Ibu
terlihat seperti tidak enak dan kasihan kepadaku.
“Ilham!
Ini… semua? Semua?”
“Lho,
kenapa? Cukup kan, kalau untuk SPP Fina sama obat buat Ayah?”
“Iya
sih…” Ibu garuk-garuk kepala. “Tapi sisanya… kamu nggak pegang?”
“Nggak
usah sekarang juga nggak pa-pa, Bu.”
“Tapi
kan Ibu dengar-dengar kamu lagi ngumpulin uang buat beli sesuatu…?”
“Bulan
depan juga bisa, lah, Bu. Nggak penting-penting banget kok.”
“Terima
kasih ya, Ilham.”
“Iya
Bu. Ya udah, Ilham ajak si Nisa dan Fikri jajan ke warung ya.”
“Ya,
ingat jangan terlalu manjain mereka. Jajan secukupnya aja. Ingat, kita harus
prihatin!”
Aku
hanya membalas perkataan itu dengan senyuman.
***
Seminggu
kemudian aku terlihat sumringah. Pasalnya, Ibu memberitahuku bahwa ternyata
biaya bimbingan belajar Fina bisa dicicil! Alhamdulillah…! Apa bukan berita
gembira namanya? Yang lebih menggembirakan lagi, aku mendapat bonus bulanan dari
tempat kerjaku. Seratus lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah, rejeki tak
terduga setelah aku berurusan dengan SPP Fina yang menguras seluruh gajiku
nyaris tanpa sisa, kecuali tiga lembar uang dua ribuan dan beberapa keping lima
ratusan.
Pulang
kerja aku mampir ke mal di mana selama dua bulan ini aku memendam keinginanku
yang paling rahasia untuk membeli sebuah sepatu. Untuk ukuran cowok muda yang
penampilannya tidak modis dan cenderung cuek sepertiku, sepatu itu lumayan
keren bagiku. Apalagi sedang diskon gede-gedean, yang tadinya seharga tiga ratus
ribu rupiah, kini sepatu itu bisa kugondol ke rumah dengan uang seratus lima
puluh ribu rupiah.
Bukannya
aku sok-sokan kepingin terlihat gaya. Tapi di samping memiliki keinginan untuk
beli sepatu itu, memang kenyataannya aku butuh sepatu saat ini! Pasalnya, tiap
hari aku harus selalu menekuk kelingking kaki kananku agar kaos kaki putihku
tidak melongok keluar dari tepi sepatu kananku yang bolong! Kalau lagi
keasyikan bengong sambil jalan kaki, ada saja mata-mata usil yang melirik
kelingkingku yang dilapisi kaos kaki seputih salju ini. Senyum mereka itu lho,
duh, bikin gondok saja!
“Ada
yang bisa dibantu, Mas?” salah seorang pramuniaga toko sepatu itu menghampiriku
di saat aku lagi asyik-asyiknya melamun! Dugaanku, dia sudah hapal raut wajahku
karena selama hampir dua bulan ini aku mondar-mandir terus ke sini hanya untuk
memandang, meraba, dan menimang sepatu-sepatu keren yang di-display di toko sepatu ini, tanpa
membeli!
“Oh…
eh…. Anu, Mas, aku cari sepatu kets yang diskon 50% itu lho, yang warna cokelat!
Kok nggak ada, ya? Padahal kayaknya kemarin…”
“Oh,
yang selalu Mas pandangin terus tiap dateng ke sini?”
Mukaku
sepertinya spontan memerah mendengar ucapannya. “I-iya, kok tau?”
“Tenang
aja, Mas. Kalo Mas nggak buru-buru, besok barangnya dateng kok, karena stoknya
habis hari ini.”
***
Sesampainya
di rumah, aku disambut wajah cemberut Fina. Ada apa? Biasanya dia seperti itu
kalau habis diomeli Ibu. Ibu-lah yang menjawab keheranan di wajahku.
“Ilham,
sepertinya kesabaran kita benar-benar diuji oleh Allah!”
“Ada
apa, Bu?”
Ibuku
menyahut. “Fina kasih pinjam uang untuk teman sekelasnya, seratus ribu rupiah!
Pakai uang cicilan pertama bimbel! Sementara kita baru tahu ternyata cicilan
pertama bimbel harus dilunasi minggu ini! Duh… heran, punya anak kok, punya
rasa kasihan berlebih sama orang lain, sampai mengorbankan diri sendiri! Ingat
Fina, sekarang bukan zamannya jadi pahlawan kesiangan!” Dia menoleh ke Fina.
Fina
menunduk malu. Mengerut di sudut ruangan.
“Ya…,
ya. Mungkin emang bener kali ya, Ilham harus ekstra sabar. Bayar, bayar!” Aku tiba-tiba saja
mengeluarkan dompetku demi mengusir rasa khawatir berlebih Ibu.
Tapi
sesudahnya mereka berdua malah terlihat sedih dan kasihan padaku. Anehnya aku
terlihat seperti orang ngambek. Padahal aku tidak mau seperti itu. Tapi,
mungkin ada benarnya juga, ikhlas seorang anak ada batasnya. Inikah batas
keikhlasanku? Ah, tidak mungkin. Tidak boleh!
“Ilham
nabung buat beli sepatu. Keren modelnya. Diskon, lagi. Sepatu Ilham bolong
parah. Tapi kenapa selalu ada kejadian begini? Kenapa selalu ada kejutan
begitu?” celetukku di antara beningnya sayur bayam yang kusendokkan ke mulut.
“Sabar
ya, Ilham.”
“Tapi
Ilham nggak ngeluh kok, Bu. Ilham nggak mau mentingin diri sendiri. Ilham harus
sabar, Bu.”
“Begini,
Ilham. Kamu menganggap sepatu sebagai
‘kebutuhan’, Atau ‘keinginan’?”
“Maksud
Ibu?”
“Kalau
kamu dikasih sepatu yang bukan selera kamu, tapi berfungsi, kamu mau?”
Aku
belum sempat menjawab ketika Ibu berteriak memanggil nama Fina, menyuruhnya
membongkar sebuah rak tempat sepatu-sepatu bekas, dan menculik sebuah sepatu
berdebu di situ, untuk ditunjukkan di depanku. Dan memang ajaib! Sepatu itu
boleh saja bukan seleraku, tapi setelah dicuci Fina, dalam keadaan belum kering
pun sepatu itu terlihat kuat dan pasti awet! Warnanya hitam, model pantofel. Aku
hanya terbengong takjub. Ajaib! Kenapa harus di waktu yang bersamaan? Inikah
kejutan terbaru dari Allah?
Aku
selalu berpikir aku harus bersabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan yang
penuh teka-teki ini. Aku selalu berpikir bahwa aku harus siap menerima
ujian-ujian dari-Nya. Tapi…? Pernahkah aku berpikir bahwa kejutan dari Allah
tidak harus berupa cobaan? Satu contoh tentang pelajaran hidup telah aku petik
dari sini. Bahwa aku tidak boleh hanya memikirkan tentang masalah-masalah apa
saja yang kelak akan kami hadapi, namun juga berkah-berkah apa saja yang
menunggu kami kelak. Baik dan buruk hanya sekelumit misteri dari-Nya. Mungkin,
kita cuma perlu berserah diri, bukan malah menunggu sambil mencemaskannya.***
10 Desember 2009
Dimuat di
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012
Pages
Powered by Blogger.