Archive for 2013

Keep Calm and Happy Birthday to Me!



Tadi malam, saya dan Nikotopia menyempatkan diri untuk mampir ke toko buku Gramedia di Pejaten Village, Jakarta Selatan. Rencananya sih mau beli novel. Cukup lama muter-muter di toko buku itu, karena bingung mau memilih novel yang mana. Ada novel terjemahan yang bagus-bagus, ada juga novel romance Indonesia yang bikin ngiler. Sempet kepikiran mau beli dua novel. Akhirnya setelah mikir beberapa menit, beli satu novel dulu saja deh, enggak usah beli dua. Mengingat ada 40 novel yang belum dibaca, numpuk di lemari rumah saya. Niko beli satu novel dan juga satu komik yang sudah lama diincarnya.
            Sebelum pulang, kami mau makan malam dulu. Karena mall sudah mau tutup, agak kebingungan mau makan di mana, sampai kami naik-turun eskalator segala. Di seberang mall pun cuma ada warung bubur kacang ijo. Duh, kalau enggak makan nasi, bisa-bisa lapar lagi saat perjalanan pulang. Kami pun lega karena ternyata masih ada restoran piza yang masih buka di lantai 1, di dekat pintu keluar.
Di dalam restoran piza itu kami makan sambil mengeluarkan buku-buku yang kami beli di toko buku. Saya baru saja mengeluarkan uang untuk mengganti harga novel yang telah dibayar Niko terlebih dulu saat di kasir toko buku, namun ternyata dengan tegas Niko menolak. Ia menggeleng dan mendorong tangan saya.
“Jangan. Gue sengaja beliin novel ini… buat kado ulang tahun lo.” Begitu katanya.  
“Tapi, Nik…”
“Udaaah, terima aja. Semoga dengan baca novel ini, lo jadi punya referensi buat lomba nulis novel.”
Lalu kami melanjutkan makan piza sambil ngobrol-ngobrol ringan dan lumayan serius. Niko juga mengajak cheers. Dalam hati saya bergemuruh oleh rasa haru, karena tidak menyangka akan dihadiahi kado ulang tahun.
“Untuk ulang tahun Andhika Rahmadian. Semoga cita-citanya untuk menang lomba kepenulisan novel bisa tergapai. Semakin cerdas, tegas, dan rendah hati!”
Kami meminum soda dengan sukacita. Saya membahas tentang ulang tahun saya, dan berpendapat bahwa hari ulang tahun ibarat tempat singgah sejenak untuk melanjutkan perputaran kehidupan berikutnya. Dari satu angka ke angka berikutnya, apa saja yang sudah saya lakukan dari angka sebelumnya ke angka yang sekarang. Tapi, saya juga yakin kok. Bahwa angka tetaplah angka. Waktu itu seperti ilusi. Kedewasaan, kebijaksanaan, dan kerendahhatian seseorang tidak bisa diukur pasti melalui usianya.
Kami pulang melintasi jalan-jalan yang sama sampai berpisah di Pakubuwono. Dalam kesendirian perjalanan pulang, alam semesta seakan memberi pertanda baik. Selalu lampu hijau yang saya lewati, seakan-akan saya diberi kelancaran. Saya berpikir, betapa beruntungnya saya dalam setahun belakangan ini. Selalu diberi kepercayaan dan kesempatan, meski saya melaluinya bukan tanpa kerja keras. Urusan pekerjaan di bidang kepenulisan skenario terbilang lancar. Begitu pula sepak terjang saya untuk menembus salah satu penerbit besar. Saya tidak punya apa-apa selain membawa kegigihan dan pengorbanan untuk mewujudkan cita-cita. Saya juga tidak menyangka, kenapa bisa semudah ini saya menggapainya. Tuhan mengirim orang-orang baik hati ke dalam kehidupan saya.
***
Dua puluh lima.
Menurut saya pribadi, angka dua puluh lima itu sexy. Dua puluh lima tahun, adalah seperempat abad. Saya hampir tidak percaya sudah menapaki usia sepanjang ini. Melewati masa kanak-kanak, remaja, dan sekarang sudah membuka gerbang kedewasaan. Di mana saya semakin mendapatkan pelajaran bermakna tentang kehidupan ini. Tentang keberagaman pikiran manusia, dan pandangan mereka tentang hidup dan tuhan; juga hikmah-hikmah di balik setiap musibah.
Mungkin karena saya sudah sering mengalami ulang tahun, jadi sudah tidak terlalu antusias menyambutnya. Tapi, meski tanpa kue dan lilin, di dalam hati saya sebagai manusia, tentunya masih ada harapan dan sekeping doa untuk diri. Kalau untuk kebahagiaan eksternal, saya ingin jadi lelaki yang mapan supaya bisa membeli barang-barang yang saya inginkan, juga merenovasi rumah. Kalau untuk kebahagiaan internal, saya ingin mendapat tempat terindah di dalam hati para pembaca buku saya kelak, dan yang tak kalah pentingnya adalah, saya bisa menemukan belahan jiwa saya. Seseorang yang mencintai dan juga menerima cinta dari saya, menerima saya apa adanya, juga bisa kompak dalam menghadapi setiap manis-getir kehidupan.
Mungkin saat ini saya masih tertatih-tatih dalam urusan asmara, dan masih belum bisa menemukan seseorang yang pas untuk menjadi bagian dari hidup saya. Tapi setidaknya saya belajar untuk mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan untuk saya, untuk saat ini. Ada banyak orang-orang yang memberi saya perhatian dan kasih sayang, juga berani untuk mengkritik saya dengan jujur, dan mencintai saya dengan tulus. Saya terharu, sejak tengah malam ponsel saya tak berhenti berdering. Sms, BBM, atau ada yang mengirim ucapan selamat ulang tahun dan doa-doa terindah di Twitter atau Facebook. Rasanya seperti mendapatkan pelukan kasih sayang yang bertubi-tubi dari segala penjuru. Mereka baik sekali. Ah, indahnya perasaan ini….
Hari, ini saya merasa berbahagia. Andhika Rahmadian yang sedang menikmati hari pertama di usia dua puluh lima. Dan belajar semakin menghormati setiap detik yang berharga.***

Jakarta, 1 Mei 2013
17:51 WIB  

Dalam Pelukan Mama



Belakangan ini saya kerap mendapatkan kabar tentang orang-orang yang ditinggal pergi oleh ibu mereka untuk selama-lamanya menghadap Yang Maha Kuasa. Contohnya ialah kematian ibu dari teman SMA saya, atau ibu dari teman sesama penulis. Kalau boleh saya jujur, setiap kali saya mendengar atau menyaksikan seseorang yang ibunya meninggal, saya jadi ingat tentang salah satu hal yang paling saya takuti dalam hidup ini, yaitu menghadapi kematian orangtua, terutama Ibu. 
Tadi sore pada pukul 14:54, saya menerima telepon dari seorang tetangga, yang mengabarkan kepada saya tentang sebuah kematian. Saya terperanjat mendengarnya, hampir tidak percaya, dengan napas tertahan. Nenek saya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, beberapa menit sebelum kabar duka ini saya terima. Beberapa saat kemudian, suara ibu saya mengambil alih, untuk berbicara kepada saya (rupanya tetangga saya sedang berada di rumah saya, untuk menghibur ibu saya).
Suara Mama, begitu saya memanggil ibu saya, terdengar begitu lirih dan terbata, sehingga saya seolah dapat merasakan duka yang sedang ia alami.  Mama memberitahu saya bahwa ia harus segera menuju Madiun, kampung halamannya, di mana almarhumah Nenek sudah menunggunya di sana. Saya tak sadar sudah menutup sambungan telepon, dan beragam kenangan bersama Nenek berkelebatan cepat di kepala saya. Hati ini seperti tertusuk oleh entah apa. Meski tidak ada air mata menuruni kedua pipi ini, namun saya seolah-olah dapat merasakan empati yang begitu besar terhadap Mama.  
Saya adalah anak sulung dari empat bersaudara. Dan saya adalah anak yang paling dekat dengan Mama, sudah pasti saya yang paling memahami perasaannya. Dia sering curhat tentang apa saja kepada saya. Begitu juga sebaliknya, saya lumayan sering bercerita kepadanya.
Pada suatu malam, tak sengaja saya melihat uban mulai menyemak di rambut Mama. Dan untuk sejenak saya berpikir, alangkah panjangnya perjalanan hidup ini. Mama sudah menua, tak semuda dulu, kala saya masih sering menggambar dengan krayon dan rajin nonton Doraemon. Tapi saya yakin, pelukan Mama masih sehangat dulu.
***
Saat duduk di kelas empat SD, saya pernah mengalami kecelakaan kecil. Sepeda yang saya kendarai diserempet motor. Lutut saya lecet, tapi saya cengeng. Saya terisak, dan takut diomeli oleh orang-orang dewasa yang saya pikir akan menganggap saya tidak hati-hati mengendarai sepeda. Orang-orang mengerumuni saya, menanyakan di mana alamat saya. Tak lama kemudian Mama datang sambil menangis dan memeluk saya erat. Di pelukannya itulah saya tumpahkan air mata seorang bocah lelaki yang mengadu kepada ibunya. Ada kehangatan yang menjalar ke sekujur saya, dan berubah menjadi kekuatan. Kekuatan itu tidak saya kenali namanya, namun saya meyakininya.
“Sudah, jangan menangis lagi. Ayo Mama antar kamu untuk periksa ke Dokter….”
Ah, alangkah indahnya mengenang kehangatan sebuah keluarga di masa kecil. Dulu Mama dan Bapak (saya tidak memanggil ayah saya dengan sebutan Papa), sering mengajak saya mengikuti lomba menggambar, dan membelikan saya peralatan menggambar.
Kini semuanya hampir memiliki banyak perubahan. Ketika saya sedang jatuh terpuruk didera permasalahan hidup, saya tidak menunjukkan air mata kepada Mama, meskipun saya yakin, intuisi seorang ibu sangatlah tajam. Tak jarang ia bertanya semisal ini, “Lagi ada masalah, ya…? Cerita dong ke Mama….” yang biasanya langsung saya balas dengan senyuman kecut atau gelengan kepala. Jika saya membohongi Mama, saya tidak berani menatap matanya.
Namun kekompakan hati itu seolah masih terjaga dengan kuat sampai sekarang. Mama adalah ibu yang memiliki selera humor yang kuat, dan itu yang membuat saya menilai dia unik. Mama adalah pekerja keras, seorang Cancer yang setia kawan, dan emosional. Jika ada hal yang lucu sedikit saja, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Tak jarang ia menertawakan kesedihan. Namun ia juga menangis tersedu-sedu sampai kehilangan selera makannya selama berhari-hari, ketika ayah saya meninggal dunia pada tahun 2010. Tapi jangan salah, Mama adalah perempuan kuat, makhluk hebat. Pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki, ia sanggup mengerjakannya. Bahkan, Mama dan Nenek memiliki satu kesamaan; sering menggaruk tubuhnya dengan sisir atau sisi pisau yang tumpul. Agak aneh, tapi nyata dan ada.
***
Hari ini hujan turun dengan deras, sesekali gerimis namun awet. Saya masih berada di meja kantor saat tulisan ini sedang saya selesaikan. Saya membayangkan Mama berurai air mata saat perjalanannya menuju Madiun. Jarak yang ia belah dengan kesedihan dan kenangan manis dengan ibunya. Saya berdoa agar Nenek diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Mama diberikan ketabahan dan kekuatan. Dan di sisa hidup saya ini, saya senantiasa diberikan kesanggupan untuk membahagiakan hati Mama. Aamiin.

Sepatu Berdebu yang Bersinar



Malam ini udara menyebarkan hawa dingin hingga membuat sweater yang kukenakan nyaris tidak ada gunanya sama sekali. Maklum, hampir sepanjang hari ini Jakarta diguyur hujan yang meski tidak dihiasi petir, namun tak kunjung reda.
            Aku bersyukur hujan tidak mengguyurku saat pulang ke rumah saat ini. Tanpa sadar, aku menggigil dan masih terus melangkahkan kaki dengan tangan bersidekap di dada, kepala agak kutundukkan.
            Seperti biasa, perkampungan tempatku tinggal selalu dihiasi anak-anak kecil yang duduk-duduk manis bersama-sama di bangku kayu panjang berlapis kardus yang menjadi penghias gapura di muka gang. Ada juga seorang ibu yang sengaja menjegat pedagang sekoteng, demi sekedar menghangatkan badan.
            Seperti api lilin di gerobak sekoteng yang berpendar melawan dinginnya malam setelah hujan, tubuh yang menggigil ini seperti dialiri energi begitu dihempas peluk dan cium pipi kanan-kiri dari kedua adikku yang masih kecil-kecil. Yang sulung, Nisa, usianya enam tahun. Dan si bungsu, Fikri, usianya tiga tahun. Kedua bocah ajaib ini sangat manja kepadaku.
            “Bang Ilham pulang!!! Hore…, Bang Ilham pulang!!!” seru  Fikri senang, menyebut-nyebut namaku.
            “Jajan dong nih…? Kata Ibu, Abang gajian hari ini!” celetuk Nisa getol.
            “Tapi Abang mau mandi dan sholat dulu ya. Badan Abang udah bau ayam kampung nih!”
            “Huuuuh…,” Nisa cemberut manja.
            “Nisa, Fikri, biarin kakak kalian mandi dulu. Nanti kalian juga jadi diajak ke warung,” kata ibuku yang muncul dari dalam kamarnya, menyadari kegaduhan kecil ini. Mereka menuruti perkataan Ibu.
            Aku mencium tangan Ibu. Ibu lalu menoleh ke arah adikku selain Nisa dan Fikri. Dialah Fina, adik pertamaku yang sudah duduk di bangku SMA. Fina yang sedang asyik-asyikan nonton film di tv tanpa sedikit pun menghiraukan kedatanganku, sontak menoleh ketika Ibu menyebut namanya.
            “Fin… masakin air panas, tuh, buat kakakmu. Biar dia mandi air hangat, kasihan pasti kedinginan karena hujan.”
            “Ya.” Dengan agak malas-malasan, Fina pun bangkit dari sofa, dan berjalan menuju dapur.
            Aku menghempaskan pantat di kursi butut ruang tamu ini. Lelah rasanya setelah seharian bekerja, menghabiskan masa mudaku di Percetakan Amanah, sebuah percetakan sederhana yang dinaungi penerbitan buku-buku pelajaran sekolah, khususnya TK dan SD. Kerjaku menyusun dan merunut halaman demi halaman dari tiap-tiap lembar yang akan dirapikan di mesin. Atau mengangkuti tumpukan buku-buku yang sudah jadi menuju mobil milik percetakan, yang biasanya mengantar langsung buku-buku itu untuk didistribusikan ke daerah-daerah. Seharian aku duduk di meja bersama lima orang staf senasib-sepenanggungan lainnya, menahan gerah dan pegal di punggung, dan baru merasakan sejuk di saat jam istirahat yang selalu digunakan untuk makan dan sholat.
            Ajaibnya, tempatku bekerja yang semula kusetarakan dengan tempat fotokopi atau warnet, yang dengan seenaknya saja bagi karyawannya untuk hanya memakai sandal jepit dan kaos oblong, di tempat ini justru tidak. Kami seolah harus terlihat elit bagi orang-orang luar yang melihat. Bayangkan, kami harus memakai sepatu.
            Begitu aku tersadar dari buaian lamunanku, ada wajah Ibu yang menyiratkan rasa penasaran.
            “Kok melamun? Cepatlah mandi....”
            Aku bangun dari tempatku duduk.
            “Bang… air panasnya udah siap nih!!!” teriak Fani dari dalam.
            “Iya....” sahutku.
            “Oh iya Ilham,” panggil ibuku tiba-tiba. “Nanti selesai sholat, ibu mau ngomong sama kamu.”
***
            Aku sudah duduk di meja makan. Rambutku masih menebar aroma shampo karena baru saja mandi dan sholat. Semangkuk mie rebus rasa ayam bawang terhidang di hadapanku. Dihiasi telur dan irisan cabe rawit. Ditambah sedikit nasi dan segelas besar teh manis panas. Beginilah keluarga kami. Sederhana, tapi tetap terasa mewah andai kau melihatnya disertai rasa syukur.
            “Katanya Ibu mau ngomong,” celetuk bibirku di sela-sela kegiatan makan ini.
            Aku berkata begitu karena sejak tadi ekor mataku menangkap Ibu yang memandangiku dari seberang meja, walau kutahu dia sedang menyisir.
            “Makan dulu saja, lah. Ini bukan hal baru buat kamu.”
            “Nggak pa-pa, bilang aja,” desakku tak sabar sebelum kuhirup hati-hati teh manis yang masih mengepul itu. “Kalo Ilham bisa bantu, Ilham bantu kok Bu,” kataku.
            Ibu diam sebentar, dan malah menggumam: “Kapan ya, Ilham, kita sekeluarga terbebas dari kesusahan hidup ini… Kalau aja Bapak masih sehat dan nggak sakit-sakitan, mungkin kamu bisa kuliah dan bukan malah kerja bantuin adik-adik kamu!”
            Aku justru tersenyum mendengarnya.
            “Justru kesusahan ini harus kita anggap sebagai ujian dari Allah. Yang musti kita jadiin motivasi supaya kita bisa mengubahnya menjadi kemudahan. Batu di tengah jalan nggak akan bisa bikin langkah kita terhenti karena kita bisa menyingkirkannya ke tepi. Lagian kadang aku ngerasa bangga juga kok bisa nyekolahin Fina dan Nisa. Aku jadi tau gimana susahnya cari duit.”
            Kenyataannya pribadiku bertentangan dengan apa yang kuucapkan barusan. Aku yang mudah bad mood, dan sering mengecilkan diri sendiri, bisa bicara seperti ini kepada ibuku. Dan ketahuilah, ibuku, mungkin engkaulah satu-satunya orang yang membuatku mendadak menjadi kuat bagaikan tombak yang kokoh, mendadak selalu berpikir positif dan yakin aku bisa melewati ini semua.
            “Minggu depan Fina harus melunasi SPP-nya selama tiga bulan. Empat ratus delapan puluh ribu. Belum lagi bulan depan mesti ikut bimbel, empat ratus ribu. Heran, dunia pendidikan kita kok seperti ini, ya. Apa sekolah gratis itu hanya ada di negeri dongeng? Negeri impian?”
            “Ya udah, Ilham habisin makan dulu ya, Bu. Ibu tenang aja, SPP Fina biar Ilham yang ngurusi,” sahutku enteng.
            Sepuluh menit sesudahnya, setelah aku menggosok gigi, kusibak tirai merah tua bergambar angsa terbang di ambang pintu kamar Ibu, dan kuhampiri dia yang sedang duduk di tepi pembaringan sambil memperhatikan dengan saksama kalender meja di tangannya. Ada ayahku yang masih pulas tertidur di belakang tubuh Ibu. Kasihan, walau kesehatannya sudah mulai membaik, tapi dia masih terlihat lesu karena penyakit ginjal yang dialaminya. Aku duduk di sebelah Ibu dan kuserahkan amplop putih yang sejak tadi kupegang untuknya.
            “Buat SPP Fina. Sama nebus obat buat Ayah.”
            Ibu terlihat seperti tidak enak dan kasihan kepadaku.
            “Ilham! Ini… semua? Semua?”
            “Lho, kenapa? Cukup kan, kalau untuk SPP Fina sama obat buat Ayah?”
            “Iya sih…” Ibu garuk-garuk kepala. “Tapi sisanya… kamu nggak pegang?”
            “Nggak usah sekarang juga nggak pa-pa, Bu.”
            “Tapi kan Ibu dengar-dengar kamu lagi ngumpulin uang buat beli sesuatu…?”
            “Bulan depan juga bisa, lah, Bu. Nggak penting-penting banget kok.”
            “Terima kasih ya, Ilham.”
            “Iya Bu. Ya udah, Ilham ajak si Nisa dan Fikri jajan ke warung ya.”
            “Ya, ingat jangan terlalu manjain mereka. Jajan secukupnya aja. Ingat, kita harus prihatin!”
            Aku hanya membalas perkataan itu dengan senyuman.
***
            Seminggu kemudian aku terlihat sumringah. Pasalnya, Ibu memberitahuku bahwa ternyata biaya bimbingan belajar Fina bisa dicicil! Alhamdulillah…! Apa bukan berita gembira namanya? Yang lebih menggembirakan lagi, aku mendapat bonus bulanan dari tempat kerjaku. Seratus lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah, rejeki tak terduga setelah aku berurusan dengan SPP Fina yang menguras seluruh gajiku nyaris tanpa sisa, kecuali tiga lembar uang dua ribuan dan beberapa keping lima ratusan.
            Pulang kerja aku mampir ke mal di mana selama dua bulan ini aku memendam keinginanku yang paling rahasia untuk membeli sebuah sepatu. Untuk ukuran cowok muda yang penampilannya tidak modis dan cenderung cuek sepertiku, sepatu itu lumayan keren bagiku. Apalagi sedang diskon gede-gedean, yang tadinya seharga tiga ratus ribu rupiah, kini sepatu itu bisa kugondol ke rumah dengan uang seratus lima puluh ribu rupiah.
            Bukannya aku sok-sokan kepingin terlihat gaya. Tapi di samping memiliki keinginan untuk beli sepatu itu, memang kenyataannya aku butuh sepatu saat ini! Pasalnya, tiap hari aku harus selalu menekuk kelingking kaki kananku agar kaos kaki putihku tidak melongok keluar dari tepi sepatu kananku yang bolong! Kalau lagi keasyikan bengong sambil jalan kaki, ada saja mata-mata usil yang melirik kelingkingku yang dilapisi kaos kaki seputih salju ini. Senyum mereka itu lho, duh, bikin gondok saja!
            “Ada yang bisa dibantu, Mas?” salah seorang pramuniaga toko sepatu itu menghampiriku di saat aku lagi asyik-asyiknya melamun! Dugaanku, dia sudah hapal raut wajahku karena selama hampir dua bulan ini aku mondar-mandir terus ke sini hanya untuk memandang, meraba, dan menimang sepatu-sepatu keren yang di-display di toko sepatu ini, tanpa membeli!
            “Oh… eh…. Anu, Mas, aku cari sepatu kets yang diskon 50% itu lho, yang warna cokelat! Kok nggak ada, ya? Padahal kayaknya kemarin…”
            “Oh, yang selalu Mas pandangin terus tiap dateng ke sini?”
            Mukaku sepertinya spontan memerah mendengar ucapannya. “I-iya, kok tau?”
            “Tenang aja, Mas. Kalo Mas nggak buru-buru, besok barangnya dateng kok, karena stoknya habis hari ini.”
***
            Sesampainya di rumah, aku disambut wajah cemberut Fina. Ada apa? Biasanya dia seperti itu kalau habis diomeli Ibu. Ibu-lah yang menjawab keheranan di wajahku.
            “Ilham, sepertinya kesabaran kita benar-benar diuji oleh Allah!”
            “Ada apa, Bu?”
            Ibuku menyahut. “Fina kasih pinjam uang untuk teman sekelasnya, seratus ribu rupiah! Pakai uang cicilan pertama bimbel! Sementara kita baru tahu ternyata cicilan pertama bimbel harus dilunasi minggu ini! Duh… heran, punya anak kok, punya rasa kasihan berlebih sama orang lain, sampai mengorbankan diri sendiri! Ingat Fina, sekarang bukan zamannya jadi pahlawan kesiangan!” Dia menoleh ke Fina.
            Fina menunduk malu. Mengerut di sudut ruangan.
            “Ya…, ya. Mungkin emang bener kali ya, Ilham harus ekstra sabar.  Bayar, bayar!” Aku tiba-tiba saja mengeluarkan dompetku demi mengusir rasa khawatir berlebih Ibu.
            Tapi sesudahnya mereka berdua malah terlihat sedih dan kasihan padaku. Anehnya aku terlihat seperti orang ngambek. Padahal aku tidak mau seperti itu. Tapi, mungkin ada benarnya juga, ikhlas seorang anak ada batasnya. Inikah batas keikhlasanku? Ah, tidak mungkin. Tidak boleh!
            “Ilham nabung buat beli sepatu. Keren modelnya. Diskon, lagi. Sepatu Ilham bolong parah. Tapi kenapa selalu ada kejadian begini? Kenapa selalu ada kejutan begitu?” celetukku di antara beningnya sayur bayam yang kusendokkan ke mulut.
            “Sabar ya, Ilham.”
            “Tapi Ilham nggak ngeluh kok, Bu. Ilham nggak mau mentingin diri sendiri. Ilham harus sabar, Bu.”
            “Begini, Ilham. Kamu menganggap sepatu  sebagai ‘kebutuhan’, Atau ‘keinginan’?”
            “Maksud Ibu?”
            “Kalau kamu dikasih sepatu yang bukan selera kamu, tapi berfungsi, kamu mau?”
            Aku belum sempat menjawab ketika Ibu berteriak memanggil nama Fina, menyuruhnya membongkar sebuah rak tempat sepatu-sepatu bekas, dan menculik sebuah sepatu berdebu di situ, untuk ditunjukkan di depanku. Dan memang ajaib! Sepatu itu boleh saja bukan seleraku, tapi setelah dicuci Fina, dalam keadaan belum kering pun sepatu itu terlihat kuat dan pasti awet! Warnanya hitam, model pantofel. Aku hanya terbengong takjub. Ajaib! Kenapa harus di waktu yang bersamaan? Inikah kejutan terbaru dari Allah?
            Aku selalu berpikir aku harus bersabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan yang penuh teka-teki ini. Aku selalu berpikir bahwa aku harus siap menerima ujian-ujian dari-Nya. Tapi…? Pernahkah aku berpikir bahwa kejutan dari Allah tidak harus berupa cobaan? Satu contoh tentang pelajaran hidup telah aku petik dari sini. Bahwa aku tidak boleh hanya memikirkan tentang masalah-masalah apa saja yang kelak akan kami hadapi, namun juga berkah-berkah apa saja yang menunggu kami kelak. Baik dan buruk hanya sekelumit misteri dari-Nya. Mungkin, kita cuma perlu berserah diri, bukan malah menunggu sambil mencemaskannya.***
10 Desember 2009

Dimuat di
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012





Pages

Powered by Blogger.

Blogger templates