Archive for January 2013

Sepatu Berdebu yang Bersinar



Malam ini udara menyebarkan hawa dingin hingga membuat sweater yang kukenakan nyaris tidak ada gunanya sama sekali. Maklum, hampir sepanjang hari ini Jakarta diguyur hujan yang meski tidak dihiasi petir, namun tak kunjung reda.
            Aku bersyukur hujan tidak mengguyurku saat pulang ke rumah saat ini. Tanpa sadar, aku menggigil dan masih terus melangkahkan kaki dengan tangan bersidekap di dada, kepala agak kutundukkan.
            Seperti biasa, perkampungan tempatku tinggal selalu dihiasi anak-anak kecil yang duduk-duduk manis bersama-sama di bangku kayu panjang berlapis kardus yang menjadi penghias gapura di muka gang. Ada juga seorang ibu yang sengaja menjegat pedagang sekoteng, demi sekedar menghangatkan badan.
            Seperti api lilin di gerobak sekoteng yang berpendar melawan dinginnya malam setelah hujan, tubuh yang menggigil ini seperti dialiri energi begitu dihempas peluk dan cium pipi kanan-kiri dari kedua adikku yang masih kecil-kecil. Yang sulung, Nisa, usianya enam tahun. Dan si bungsu, Fikri, usianya tiga tahun. Kedua bocah ajaib ini sangat manja kepadaku.
            “Bang Ilham pulang!!! Hore…, Bang Ilham pulang!!!” seru  Fikri senang, menyebut-nyebut namaku.
            “Jajan dong nih…? Kata Ibu, Abang gajian hari ini!” celetuk Nisa getol.
            “Tapi Abang mau mandi dan sholat dulu ya. Badan Abang udah bau ayam kampung nih!”
            “Huuuuh…,” Nisa cemberut manja.
            “Nisa, Fikri, biarin kakak kalian mandi dulu. Nanti kalian juga jadi diajak ke warung,” kata ibuku yang muncul dari dalam kamarnya, menyadari kegaduhan kecil ini. Mereka menuruti perkataan Ibu.
            Aku mencium tangan Ibu. Ibu lalu menoleh ke arah adikku selain Nisa dan Fikri. Dialah Fina, adik pertamaku yang sudah duduk di bangku SMA. Fina yang sedang asyik-asyikan nonton film di tv tanpa sedikit pun menghiraukan kedatanganku, sontak menoleh ketika Ibu menyebut namanya.
            “Fin… masakin air panas, tuh, buat kakakmu. Biar dia mandi air hangat, kasihan pasti kedinginan karena hujan.”
            “Ya.” Dengan agak malas-malasan, Fina pun bangkit dari sofa, dan berjalan menuju dapur.
            Aku menghempaskan pantat di kursi butut ruang tamu ini. Lelah rasanya setelah seharian bekerja, menghabiskan masa mudaku di Percetakan Amanah, sebuah percetakan sederhana yang dinaungi penerbitan buku-buku pelajaran sekolah, khususnya TK dan SD. Kerjaku menyusun dan merunut halaman demi halaman dari tiap-tiap lembar yang akan dirapikan di mesin. Atau mengangkuti tumpukan buku-buku yang sudah jadi menuju mobil milik percetakan, yang biasanya mengantar langsung buku-buku itu untuk didistribusikan ke daerah-daerah. Seharian aku duduk di meja bersama lima orang staf senasib-sepenanggungan lainnya, menahan gerah dan pegal di punggung, dan baru merasakan sejuk di saat jam istirahat yang selalu digunakan untuk makan dan sholat.
            Ajaibnya, tempatku bekerja yang semula kusetarakan dengan tempat fotokopi atau warnet, yang dengan seenaknya saja bagi karyawannya untuk hanya memakai sandal jepit dan kaos oblong, di tempat ini justru tidak. Kami seolah harus terlihat elit bagi orang-orang luar yang melihat. Bayangkan, kami harus memakai sepatu.
            Begitu aku tersadar dari buaian lamunanku, ada wajah Ibu yang menyiratkan rasa penasaran.
            “Kok melamun? Cepatlah mandi....”
            Aku bangun dari tempatku duduk.
            “Bang… air panasnya udah siap nih!!!” teriak Fani dari dalam.
            “Iya....” sahutku.
            “Oh iya Ilham,” panggil ibuku tiba-tiba. “Nanti selesai sholat, ibu mau ngomong sama kamu.”
***
            Aku sudah duduk di meja makan. Rambutku masih menebar aroma shampo karena baru saja mandi dan sholat. Semangkuk mie rebus rasa ayam bawang terhidang di hadapanku. Dihiasi telur dan irisan cabe rawit. Ditambah sedikit nasi dan segelas besar teh manis panas. Beginilah keluarga kami. Sederhana, tapi tetap terasa mewah andai kau melihatnya disertai rasa syukur.
            “Katanya Ibu mau ngomong,” celetuk bibirku di sela-sela kegiatan makan ini.
            Aku berkata begitu karena sejak tadi ekor mataku menangkap Ibu yang memandangiku dari seberang meja, walau kutahu dia sedang menyisir.
            “Makan dulu saja, lah. Ini bukan hal baru buat kamu.”
            “Nggak pa-pa, bilang aja,” desakku tak sabar sebelum kuhirup hati-hati teh manis yang masih mengepul itu. “Kalo Ilham bisa bantu, Ilham bantu kok Bu,” kataku.
            Ibu diam sebentar, dan malah menggumam: “Kapan ya, Ilham, kita sekeluarga terbebas dari kesusahan hidup ini… Kalau aja Bapak masih sehat dan nggak sakit-sakitan, mungkin kamu bisa kuliah dan bukan malah kerja bantuin adik-adik kamu!”
            Aku justru tersenyum mendengarnya.
            “Justru kesusahan ini harus kita anggap sebagai ujian dari Allah. Yang musti kita jadiin motivasi supaya kita bisa mengubahnya menjadi kemudahan. Batu di tengah jalan nggak akan bisa bikin langkah kita terhenti karena kita bisa menyingkirkannya ke tepi. Lagian kadang aku ngerasa bangga juga kok bisa nyekolahin Fina dan Nisa. Aku jadi tau gimana susahnya cari duit.”
            Kenyataannya pribadiku bertentangan dengan apa yang kuucapkan barusan. Aku yang mudah bad mood, dan sering mengecilkan diri sendiri, bisa bicara seperti ini kepada ibuku. Dan ketahuilah, ibuku, mungkin engkaulah satu-satunya orang yang membuatku mendadak menjadi kuat bagaikan tombak yang kokoh, mendadak selalu berpikir positif dan yakin aku bisa melewati ini semua.
            “Minggu depan Fina harus melunasi SPP-nya selama tiga bulan. Empat ratus delapan puluh ribu. Belum lagi bulan depan mesti ikut bimbel, empat ratus ribu. Heran, dunia pendidikan kita kok seperti ini, ya. Apa sekolah gratis itu hanya ada di negeri dongeng? Negeri impian?”
            “Ya udah, Ilham habisin makan dulu ya, Bu. Ibu tenang aja, SPP Fina biar Ilham yang ngurusi,” sahutku enteng.
            Sepuluh menit sesudahnya, setelah aku menggosok gigi, kusibak tirai merah tua bergambar angsa terbang di ambang pintu kamar Ibu, dan kuhampiri dia yang sedang duduk di tepi pembaringan sambil memperhatikan dengan saksama kalender meja di tangannya. Ada ayahku yang masih pulas tertidur di belakang tubuh Ibu. Kasihan, walau kesehatannya sudah mulai membaik, tapi dia masih terlihat lesu karena penyakit ginjal yang dialaminya. Aku duduk di sebelah Ibu dan kuserahkan amplop putih yang sejak tadi kupegang untuknya.
            “Buat SPP Fina. Sama nebus obat buat Ayah.”
            Ibu terlihat seperti tidak enak dan kasihan kepadaku.
            “Ilham! Ini… semua? Semua?”
            “Lho, kenapa? Cukup kan, kalau untuk SPP Fina sama obat buat Ayah?”
            “Iya sih…” Ibu garuk-garuk kepala. “Tapi sisanya… kamu nggak pegang?”
            “Nggak usah sekarang juga nggak pa-pa, Bu.”
            “Tapi kan Ibu dengar-dengar kamu lagi ngumpulin uang buat beli sesuatu…?”
            “Bulan depan juga bisa, lah, Bu. Nggak penting-penting banget kok.”
            “Terima kasih ya, Ilham.”
            “Iya Bu. Ya udah, Ilham ajak si Nisa dan Fikri jajan ke warung ya.”
            “Ya, ingat jangan terlalu manjain mereka. Jajan secukupnya aja. Ingat, kita harus prihatin!”
            Aku hanya membalas perkataan itu dengan senyuman.
***
            Seminggu kemudian aku terlihat sumringah. Pasalnya, Ibu memberitahuku bahwa ternyata biaya bimbingan belajar Fina bisa dicicil! Alhamdulillah…! Apa bukan berita gembira namanya? Yang lebih menggembirakan lagi, aku mendapat bonus bulanan dari tempat kerjaku. Seratus lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah, rejeki tak terduga setelah aku berurusan dengan SPP Fina yang menguras seluruh gajiku nyaris tanpa sisa, kecuali tiga lembar uang dua ribuan dan beberapa keping lima ratusan.
            Pulang kerja aku mampir ke mal di mana selama dua bulan ini aku memendam keinginanku yang paling rahasia untuk membeli sebuah sepatu. Untuk ukuran cowok muda yang penampilannya tidak modis dan cenderung cuek sepertiku, sepatu itu lumayan keren bagiku. Apalagi sedang diskon gede-gedean, yang tadinya seharga tiga ratus ribu rupiah, kini sepatu itu bisa kugondol ke rumah dengan uang seratus lima puluh ribu rupiah.
            Bukannya aku sok-sokan kepingin terlihat gaya. Tapi di samping memiliki keinginan untuk beli sepatu itu, memang kenyataannya aku butuh sepatu saat ini! Pasalnya, tiap hari aku harus selalu menekuk kelingking kaki kananku agar kaos kaki putihku tidak melongok keluar dari tepi sepatu kananku yang bolong! Kalau lagi keasyikan bengong sambil jalan kaki, ada saja mata-mata usil yang melirik kelingkingku yang dilapisi kaos kaki seputih salju ini. Senyum mereka itu lho, duh, bikin gondok saja!
            “Ada yang bisa dibantu, Mas?” salah seorang pramuniaga toko sepatu itu menghampiriku di saat aku lagi asyik-asyiknya melamun! Dugaanku, dia sudah hapal raut wajahku karena selama hampir dua bulan ini aku mondar-mandir terus ke sini hanya untuk memandang, meraba, dan menimang sepatu-sepatu keren yang di-display di toko sepatu ini, tanpa membeli!
            “Oh… eh…. Anu, Mas, aku cari sepatu kets yang diskon 50% itu lho, yang warna cokelat! Kok nggak ada, ya? Padahal kayaknya kemarin…”
            “Oh, yang selalu Mas pandangin terus tiap dateng ke sini?”
            Mukaku sepertinya spontan memerah mendengar ucapannya. “I-iya, kok tau?”
            “Tenang aja, Mas. Kalo Mas nggak buru-buru, besok barangnya dateng kok, karena stoknya habis hari ini.”
***
            Sesampainya di rumah, aku disambut wajah cemberut Fina. Ada apa? Biasanya dia seperti itu kalau habis diomeli Ibu. Ibu-lah yang menjawab keheranan di wajahku.
            “Ilham, sepertinya kesabaran kita benar-benar diuji oleh Allah!”
            “Ada apa, Bu?”
            Ibuku menyahut. “Fina kasih pinjam uang untuk teman sekelasnya, seratus ribu rupiah! Pakai uang cicilan pertama bimbel! Sementara kita baru tahu ternyata cicilan pertama bimbel harus dilunasi minggu ini! Duh… heran, punya anak kok, punya rasa kasihan berlebih sama orang lain, sampai mengorbankan diri sendiri! Ingat Fina, sekarang bukan zamannya jadi pahlawan kesiangan!” Dia menoleh ke Fina.
            Fina menunduk malu. Mengerut di sudut ruangan.
            “Ya…, ya. Mungkin emang bener kali ya, Ilham harus ekstra sabar.  Bayar, bayar!” Aku tiba-tiba saja mengeluarkan dompetku demi mengusir rasa khawatir berlebih Ibu.
            Tapi sesudahnya mereka berdua malah terlihat sedih dan kasihan padaku. Anehnya aku terlihat seperti orang ngambek. Padahal aku tidak mau seperti itu. Tapi, mungkin ada benarnya juga, ikhlas seorang anak ada batasnya. Inikah batas keikhlasanku? Ah, tidak mungkin. Tidak boleh!
            “Ilham nabung buat beli sepatu. Keren modelnya. Diskon, lagi. Sepatu Ilham bolong parah. Tapi kenapa selalu ada kejadian begini? Kenapa selalu ada kejutan begitu?” celetukku di antara beningnya sayur bayam yang kusendokkan ke mulut.
            “Sabar ya, Ilham.”
            “Tapi Ilham nggak ngeluh kok, Bu. Ilham nggak mau mentingin diri sendiri. Ilham harus sabar, Bu.”
            “Begini, Ilham. Kamu menganggap sepatu  sebagai ‘kebutuhan’, Atau ‘keinginan’?”
            “Maksud Ibu?”
            “Kalau kamu dikasih sepatu yang bukan selera kamu, tapi berfungsi, kamu mau?”
            Aku belum sempat menjawab ketika Ibu berteriak memanggil nama Fina, menyuruhnya membongkar sebuah rak tempat sepatu-sepatu bekas, dan menculik sebuah sepatu berdebu di situ, untuk ditunjukkan di depanku. Dan memang ajaib! Sepatu itu boleh saja bukan seleraku, tapi setelah dicuci Fina, dalam keadaan belum kering pun sepatu itu terlihat kuat dan pasti awet! Warnanya hitam, model pantofel. Aku hanya terbengong takjub. Ajaib! Kenapa harus di waktu yang bersamaan? Inikah kejutan terbaru dari Allah?
            Aku selalu berpikir aku harus bersabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan yang penuh teka-teki ini. Aku selalu berpikir bahwa aku harus siap menerima ujian-ujian dari-Nya. Tapi…? Pernahkah aku berpikir bahwa kejutan dari Allah tidak harus berupa cobaan? Satu contoh tentang pelajaran hidup telah aku petik dari sini. Bahwa aku tidak boleh hanya memikirkan tentang masalah-masalah apa saja yang kelak akan kami hadapi, namun juga berkah-berkah apa saja yang menunggu kami kelak. Baik dan buruk hanya sekelumit misteri dari-Nya. Mungkin, kita cuma perlu berserah diri, bukan malah menunggu sambil mencemaskannya.***
10 Desember 2009

Dimuat di
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012





Separuh Matahari Untuk Sahabat





Poppy berlari-lari kecil di sebuah gang kecil yang becek menghampiri sebuah rumah petak yang tertutup pintunya. Dengan sisa-sisa semangat yang ada dia mengetuk pintunya dengan pelan, seolah takut mengusik para penghuni di dalamnya. Gadis cantik itu menggigil kedinginan dengan pakaian yang sedikit basah di sana-sini, gara-gara terguyur gerimis.
“Poppy?” seorang perempuan berusia empat puluh tahunan membukakan pintu dan memandangnya dengan iba. “Kamu nggak pulang lagi ke rumah?”
Perempuan ini adalah Tante Kamila, mamanya Karin, sahabat Poppy sekaligus teman sekelasnya di kelas XI IPA II di SMU Permata Hati Bunda. Jelas Tante Kamila bertanya seperti itu karena penasaran sudah tiga hari ini Poppy selalu datang mengenakan pakaian putih-abu-abunya.
“Tante, maaf ya aku mau ngerepotin lagi…” pinta Poppy memelas. “Aku mau nginep lagi, Tante. Itu juga kalo Tante ngijinin.”
Tante Kamila menghela nafas iba. Dia tidak berani menerka apalagi bertanya langsung pada Poppy apa gerangan yang menyebabkannya ingin menginap di sini, di rumah mungil ini. Sepertinya Karin-lah yang lebih tepat ditanyai.
“Pintu rumah ini selalu terbuka buat kamu, Poppy…”
***
Malam ini untuk ketiga kalinya Karin membagi tempat tidur di kamarnya yang sempit untuk ditiduri dirinya dan Poppy,  sahabatnya.
Karin iba melihat perubahan drastis dalam diri Poppy. Sahabatnya yang tajir, kapan pun dan di manapun selalu diiringi tawa kebahagiaan tanpa sekalipun terbersit di otaknya tentang keprihatinan menjalani hidup pas-pasan, dan hidup selalu berkecukupan dengan segala pakaian-pakaian trendy, motor pribadi, serta gadget yang dia punya, kini gadis cantik itu hanya bisa berdiri terpekur di ambang jendela kamar Karin, menatap kerlap-kerlip kunang-kunang di persawahan di seberang kali kotor di luar sana. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dangdut dari radio butut di warung jamu di dekat persawahan gelap itu, lumayan mengusir kesunyian malam.
“Udah malem, Pop,” cetus Karin iba yang sedang membersihkan tempat tidur dengan sapu lidi. “Tidur, yuk?”
Namun Poppy tidak menolehkan kepalanya sedikit pun, apalagi menyahut. Karin lalu menyalakan obat nyamuk bakar di sudut kamar dan setelahnya ia menghampiri jendela, tepatnya menghampiri Poppy.
“Lo tidur dulu aja, Rin. Gue masih pengen di sini… mengenang semuanya.” Poppy berucap dengan dada bergetar. Matanya tampak jelas berjuang keras menahan air mata.
“Mengenang apa?” tanya Karin sedih.
“Ya semuanya. Nyokap gue. Bokap gue. Adek gue. Dan semua itu berubah semenjak nyokap gue…” Poppy tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Poppy…” Air mata tak terasa mengalir dari kedua pipi Karin saat dengan refleks ia memeluk tubuh Poppy. Karin memang memiliki rasa empati yang tinggi, ia gampang merasakan apa yang orang lain rasakan.
Poppy menjatuhkan air mata di bahu Karin, membuat bahu Karin sedikit basah. Namun Karin seolah tidak merasakannya, ia justru mengelus-elus punggung Poppy, menenangkannya.
“Jadi, sampai sekarang bokap-nyokap lo masih belum damai...?” tanya Karin prihatin.
Karin merasakan tekanan yang berulang-ulang di bahunya, pertanda Poppy mengangguk.
“Justru makin parah…” Poppy masih terisak. “Rumah gue udah nggak ada lagi suasana harmonis sama sekali, Rin. Kedamaian yang dulu pernah gue rasain, kini semuanya ilang…”
Setelah meringankan kesedihan Poppy dengan segelas air putih, Karin akhirnya berhasil membujuknya ke tempat tidur. Mereka terlentang berdampingan menatap langit-langit kamar, dan pada polosnya langit-langit kamar seolah terukir bayangan tentang kisah sedih yang diuraikan oleh Poppy…
Akhir-akhir ini, Tante Lidya, mamanya Poppy, terlihat sangat dekat dengan Om Danu, mantan kliennya di kantor. Membuat Om Arjuna, papanya Poppy, sedikit cemburu. Dan bukannya meminta maaf, Tante Lidya malah mencari-cari alasan dan menunjuk bahwa Om Arjuna adalah seniman egois yang tidak pandai membagi waktu antara saat-saat untuk “ada” ketika dibutuhkan perhatiannya, dan saat-saat untuk berkutat dengan pekerjaannya sebagai seorang pelukis. Puncaknya, yang ditemui di rumah Poppy adalah perselisihan paham, karena tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.
Dan sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karir, Tante Lidya merasa harus tetap profesional menjalankan pekerjaannya, dia tidak mau membawa masalah rumah tangga ke dalam pekerjaannya. Ketika di rumah dia sudah tidak dapat menghindari pertengkaran yang memakan hati dan perasaan, dia semakin giat menghadapi tumpukan pekerjaannya di kantor. Singkatnya, dia ingin menghindari rasa bersalahnya dengan berbagai kesibukan.
Sementara Om Arjuna yang sangat mencintai ketenangan di dalam rumah tangganya, merasa tidak perlu membesar-besarkan masalahnya dengan istrinya. Hanya saja, sifatnya yang labil sering menyebabkan pertengkaran bahkan Poppy pernah melihatnya hampir berbuat kasar.
Kini dia mencintai sekaligus membenci istrinya. Di antara serpihan kekecewaannya sebagai seorang kepala rumah tangga, dia masih menaruh harapan pada Poppy dan si bungsu Tobby yang masih duduk di bangku SD. Mereka berdua-lah alasan Om Arjuna untuk memunguti serpihan kekecewaan itu, menjadi semangat jiwa untuk menatap hari esok!
Malam sudah semakin larut dan berangsur-angsur rasa kantuk membuat cerita Poppy menguar di udara. Pada akhirnya mereka tersembunyi di balik lindungan selimut dan diam-diam telunjuk mama Karin menekan tombol sakelar untuk mematikan lampu kamar.
Dalam kegelapan kamar yang disinggahi cahaya temaram sang rembulan, Tante Kamila mengecup kening Karin dan Poppy. Saat Tante Kamila melangkah keluar, diam-diam air mata Poppy meleleh.
***
Satu sekolah heboh. Poppy sudah seminggu tidak masuk sekolah. Tanpa pemberitahuan, dan tanpa pesan. Guru-guru pun mengaku tidak tahu apa-apa sehubungan dengan menghilangnya Poppy. Terlebih lagi tak ada seorang pun yang bisa ditemui di rumah Poppy.
Bukan hanya guru-guru dan teman-teman yang panik, tapi juga Karin dan mamanya. Karin tidak punya handphone, jadi dapat kabar dari mana selain Poppy menunjukkan batang hidung di depannya.
“Karin! Tunggu…!” seorang cowok berlari menghampiri Karin yang sedang berjalan murung di koridor sekolah.
Karin menghentikan langkahnya dan membiarkan cowok itu berhenti di hadapannya. Dia adalah Sandy, cowok cool yang selama ini menjadi pujaan hati Poppy.
“Ya?” Karin mengerutkan alis.
“Lo udah tau di mana Poppy?” Sandy bertanya cemas.        
 Karin menggeleng antara sedih dan sebal. Kenapa dia baru memedulikan sekarang? Kenapa di saat keberadaan Poppy tidak diketahui ada di mana? Seandainya cowok ini tahu betapa sakitnya Poppy memendam perasaan!
Selama ini Poppy hanya bisa menyimpan kekaguman kepada cowok kalem ini, Karin tahu itu karena dulu Poppy pernah curhat padanya tentang perasaannya pada Sandy. Tapi itu dulu. Poppy seperti berusaha menarik perkataannya semenjak dengan terang-terangan Sandy menitip salam untuk Karin melalui Poppy, dan berharap Poppy menjadi mak comblang antara dia dan Karin. Wah, Karin masih belum bisa melupakan bagaimana merahnya wajah Poppy saat menyampaikan salam manis untuknya dari Sandy! Karin tahu Poppy pura-pura tidak ada apa-apa saat menyampaikan salam manis dari Sandy, tapi mata Poppy bicara, dan gerak tubuhnya menjawab apa yang sebenarnya berkecamuk di hatinya. Melihat kepura-puraan Poppy, justru Karin merasa tidak enak hati.
Dan sekarang, cowok ini berdiri di hadapan Karin! Demi Tuhan, Karin tidak mengagumi cowok ini sejengkal pun dan lagipula Karin merasa persahabatannya dengan Poppy jauh lebih berharga daripada urusan cowok semata!
“Peduli apa lo sama dia?!” Karin tidak sanggup menahan emosinya lagi.
“Kok lo emosional gitu sih jawabnya?!” cetus Sandy heran. “Gue cuma...” Dan sebelum Sandy menyelesaikan kalimatnya, Karin sudah meninggalkan cowok itu dengan membawa perasaan kesal yang kurang beralasan.
Dalam hati Karin menyesal juga karena sebenarnya Sandy toh tidak tahu tentang perasaan Poppy. Tapi biarlah, Karin merasa puas meninggalkan Sandy yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
***
Malam harinya, di dapurnya yang mungil Karin dan mamanya duduk berhadapan di meja makan sambil menikmati hidangan mie instan pakai telur setengah matang. Asap mengepul-ngepul dari mangkok dan kehangatan mie instan sanggup melawan hawa dingin yang disebarkan derasnya hujan di luar.
Sementara Widya, adik Karin yang baru menginjak usia enam tahun, duduk di lantai menyuapi si bungsu Kamal (usianya tiga tahun) nasi pakai sayur sop dan dua iris tempe.
Dan ketenangan itu tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu yang tidak terdengar keras, namun cukup untuk membuat Karin dan mamanya bertukar pandangan menebak.
Benar saja. Begitu Karin dan mamanya menghambur ke pintu untuk melihat siapa orang di baliknya, gadis cantik itu berdiri dengan kondisi yang sangat memprihatinkan: Poppy. Dia menangis tersedu-sedu dan langsung menubruk tubuh Karin dan langsung memeluknya. Di bahu Karin dia seolah menumpahkan sekaligus membagi duka laranya. Dan untuk kesekian kalinya air mata Poppy mampir di bahu Karin.
Dengan ikhlas dan sabar Tante Kamila membimbing Poppy ke dapur, menyuguhkan secangkir teh manis hangat untuk meringankan kesedihannya.
“Kalian baik banget…” tak henti-hentinya Poppy berterimakasih sambil menghirup pelan teh manis itu dengan tangan agak gemetar.
“Kami hanya ingin meringankan bebanmu sebisa kami, Nak…” ujar Tante Kamila. “Ceritalah apa yang ingin kauceritakan. Kami selalu membuka lebar-lebar telinga dan hati kami…”
***
Om Arjuna, papanya Poppy, ternyata mendapat serangan jantung dan sudah seminggu ini dia dirawat di rumah sakit. Berhari-hari Poppy menungguinya di sisi pembaringan tanpa sesaat pun ia meninggalkan ayah tercintanya itu.
Om Arjuna mengaku sangat terpukul karena Tante Lidya tidak dengan terang-terangan mengaku jatuh cinta kepada Om Danu! Mendengar cerita dari papanya, jantung Poppy berdebar diguncang kekecewaan, marah, dan sakit hati. Ternyata ini yang dia dapat di balik kesibukan mamanya sebagai seorang wanita karir. Perihnya!
Om Arjuna bilang, tidak apa-apa dia sudah kehilangan cinta dari seorang wanita yang sangat dicintainya. Alasannya, dia masih memiliki dua orang anak yang sangat dicintainya. Dan dia menaruh harapan besar kepada Poppy dan si bungsu Tobby.
Kondisi Om Arjuna semakin membaik dan Poppy menyelesaikan ceritanya sampai di situ, setidaknya ketika dia bercerita di ruang makan.
“Terus?” tanya Karin tak sabaran, sesaat setelah dia dan Poppy membaringkan tubuh berdampingan, seperti biasa menghadap langit-langit kamar yang akan terukir cerita dari Poppy.
“Terus, ternyata ada Sandy ngejenguk bokap gue,” ujar Poppy sumringah. “Sekarang dia yang gantian nungguin bokap di rumah sakit, sementara gue minta ijin nginap di sini untuk ngabarin kalian, trus besok gue udah masuk sekolah.”
“Hah? Kok bisa?” Karin mengalami dua rasa kaget sekaligus. Pertama, kenapa Sandy tahu Om Arjuna dirawat dan menjenguknya. Kedua, kenapa seolah ada rona bahagia yang kasat mata saat Poppy menyebut nama Sandy!
“Semua karena ada cinta lain yang datang diam-diam,” jawab Poppy. “Setelah sebelumnya cinta juga pergi diam-diam dalam keluarga kami…”
“Maksudnya?”
“Karin. Sebenernya gue jahat banget sama elo. Selama ini gue ngiri, cemburu, sekaligus terkadang mengutuk kesempurnaan lo. Di balik kehidupan lo yang miskin–punya nyokap janda dan tukang jahit–elo hidup dalam lingkaran cinta yang membahagiakan. Cinta yang nyokap lo punya, ditunjukin secara terang-terangan dan tanpa ragu sama sekali. Dan ngomong-ngomong tentang Sandy, ternyata dia…”
Poppy bercerita, kalau siang tadi Sandy menyatakan perasaannya pada Poppy. Mereka sudah jadian! Rupanya sejak lama Sandy mengetahui perasaan Poppy yang terpendam. Dan dia hanya ingin membuat Poppy cemburu dengan cara selalu menyampaikan salam untuk Karin. Sampai akhirnya dia yakin tentang perasaan Poppy dan dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk menyatakan bahwa dia pun juga merasakan gejolak cinta yang sama! Wah, ternyata!
“Dan satu hal lagi yang membuat gue semakin yakin bahwa nggak ada gunanya terus-terusan bersedih...”
“Apa?” Karin semakin penasaran.
“Nyokap lo...” jawab Poppy. “Dia bilang, gue boleh panggil dia ‘Mama’. Dia bilang gue udah kayak anak kandungnya sendiri. Dia bilang gue boleh tidur di rumah ini kapan pun gue mau! Elo nggak marah kan…? Karin, lo nggak marah kan…?
Bagaimana mungkin aku marah, Poppy, bisik Karin dalam hati. Kamu adalah sahabatku dan kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Aku juga tidak mau kamu hidup dalam perasaan cemburu, melihat si Karin yang miskin ini tapi berkelimpahan cinta dari seorang ibu yang janda namun memiliki ketegaran yang mengagumkan.
Ibuku adalah matahari yang menerangi setiap langkahku dan mulai sekarang akan kubagi matahariku untuk menerangi hidup kita karena aku sangat menyayangimu, Sobat. Tidurlah yang nyenyak dan aku ada di sampingmu karena kini kita adalah saudara walau terlahir dari rahim yang berbeda.
“Apa perlu gue jawab?” balas Karin. “Yang elo perlu malam ini adalah tidur, dan cuma mimpi indah yang harus kita dapetin malam ini….”

Dimuat di Story Teenlit Magazine
Edisi 25 Feb - 25 Mar 2011












   
    



Es Krim dan Ilalang




Aku mencintaimu, Bara. Tapi….
            Aku tak jadi meneruskan kalimat pada sms yang kutulis, dan segera men-delete-nya. Tak baik rasanya bila lewat tengah malam begini aku mengganggu Bara, yang mungkin saja tengah tertidur lelap, walaupun dia adalah pacarku.
            Namaku Windy. Sudah tiga bulan aku dan Bara menjalin hubungan yang disebut pacaran ini. Dia datang di saat aku sedang berusaha bangkit di atas puing-puing kekecewaanku karena dikhianati pacarku. Dan aku beruntung bisa bertemu dengannya.
            Bara adalah cowok populer di kampusnya. Selain aktif di Mahasiswa Pecinta Alam, dia juga seorang model iklan dan sekarang sedang rajin-rajinnya mengikuti kursus akting. Bara sebetulnya adalah cowok pemalu, dia ingin terjun ke dunia entertainment karena  dukungan dari mamanya dan juga orang-orang di sekitarnya yang menyarankannya untuk memanfaatkan ketampanannya. Aku sih setuju-setuju saja dengan pilihan Bara. Bukankah kalau dia berhasil, dia akan menuai popularitas dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya? Dan lagipula, aku juga pasti akan kecipratan. Walaupun aku nggak tahu sampai kapan dia akan mempertahankanku sebagai pacarnya. Bukankan cowok selalu gampang bosan? Apalagi kalau punya banyak uang.
            Namun terlepas dari itu semua, Bara adalah keajaiban bagiku. Dia menyadarkanku kalau Bumi pasti berputar. Mentang-mentang aku putus cinta, bukan berarti aku patah semangat dan tidak mau lagi membuka hatiku untuk cowok, kan? Meskipun demikian, rupanya ada sesuatu yang mengganggu hari-hari dan malam-malamku beberapa hari ini. Ya, sejak tiga hari yang lalu tepatnya.
            Siang itu aku dan dia makan berdua di kantin kampus, dan mengobrol dengan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba handphone Bara berdering, memperdengarkan sebuah lagu yang entah siapa penyanyinya dan apa judulnya, yang jelas lagu itu bukan seleraku. Dan aku sempat membaca kegugupan di wajah tampan itu. Sesaat setelah dia melihat barisan nomor asing di layar handphone-nya, dia langsung bangkit dari duduknya dan menjauh dariku, lalu menjawab teleponnya di sudut kantin. Dan aku sempat melihat keseriusan di wajahnya.
            “Siapa?” tanyaku, nyaris mendesak, saat dia sudah kembali duduk di hadapanku.
            “Bukan siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Dia menggeleng.
            Ya Tuhan. Bantu aku untuk mengenyahkan perasaan curiga yang tiba-tiba merayap di dalam hatiku ini. Yang aku tahu, Bara adalah cowok setia. Dia baik. Tapi kenapa sikapnya harus seperti itu? Kenapa dia seperti berusaha menutupi sesuatu?
            “Kamu kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibir Bara, mengusir lamunanku tentangnya.
            Aku diam saja, daripada berbohong lebih baik tidak menjawab.
            Mungkin karena tidak ingin aku ngambek terlalu lama, dia menghampiri konter es krim dan membelikanku es krim vanilla kesukaanku. Ya, Bara memang senang memberiku kejutan. Dia tahu aku paling suka es krim vanilla, dan dia juga tahu bagaimana cara menyenangkanku.
            Ah, Bara....
            Kita sama-sama punya masa lalu. Sama-sama pernah punya pacar. Dan sama-sama kepingin memperbaiki persepsi kita tentang makna pacaran. Kamu inginkan hubungan yang apa adanya dan santai untuk dijalani. Sedangkan aku inginkan kejujuran dari kita, apa pun itu.
            Tapi sejak handphone-mu selalu berbunyi... dan kau selalu menghindar dariku saat kauangkat teleponnya....
            Aku mencintaimu, Bara. Tapi... apakah kamu layak untuk kucintai?
            “Es krimnya keburu meleleh, Beb.” Dia mengusir lamunanku lagi.
***
Lagi-lagi lagu Afterlife dari Avenged Sevenfold berbunyi nyaring dari handphone-ku, pertanda ada yang menelepon. Dan, betapa sial, kali ini lagu itu terdengar justru di saat aku sedang duduk berdua dengan Windy di kantin kampus tempat kami kuliah. Bukan karena bunyinya, tapi karena nomor asing yang tertera di layar handphone sudah kukenal.
            Sempat kulirik mata Windy yang memandangku curiga. Namun, entahlah, perasaanku tak enak. Pasti cewek aneh itu lagi. Aku langsung mengesampingkan keasyikanku dengan Windy.
            “Sebentar ya Beb,” kataku pada Windy.
            Aku langsung menjauh darinya dan berlari kecil ke sudut kantin, tanpa menghiraukan tatapan matanya, sekaligus perasaannya.
            “Halo?” sapaku bosan.
            “Ini, beneran nomor Bara, kan?” tanya suara cewek di seberang sana. Demi Tuhan, aku bosan mendengar pertanyaannya yang selalu sama. Buang-buang waktu saja!
            “Hai, sebenernya kamu siapa ya?” bentakku tak sabaran. “Bukannya dari kemaren-kemaren aku bilang ‘iya’ kalo namaku Bara?”
            Sesaat hanya ada kebisuan di seberang sana. Lalu lanjutnya:
            “Maaf, aku cuma takut kamu bo’ong.” Perkataan yang jelas membuat emosiku memuncak.
            “Emangnya kalo aku bo’ong kenapa, kalo aku bener juga kenapa?”
            “Ya nggak kenapa-napa.” Dia malah tertawa. “Aku cuma ngerasa ajaib aja, bisa ngomong sama calon artis seganteng… Bara.”
            Entahlah, apa warna pipiku saat cewek itu mengucapkan kalimat barusan. Yang jelas, aku risih, dan sangat tidak suka mendengarnya.
            “Sebenernya mau kamu apa sih?” bentakku lagi.
            “Aku? Aku pengen ketemu sama kamu, Bara.” Cewek itu berterus terang.
            “Buat apa?”
            “Ngobrol.”
            “Ngobrol?”
            “Iya.”
            “Aku nggak mau. Nanti ada yang marah, tau.”
            Klik! Aku langsung mematikan hubungan telepon. Dan melesat cepat menghampiri Windy. Aduh, benar saja dugaanku. Windy cemberut! Tapi, nggak penting juga kalau aku cerita tentang cewek aneh yang barusan telepon aku. Buat apa juga, hanya akan mengganggu Windy.
            “Siapa?” tanya Windy seperti mendesak, namun aku menghargai sikapnya, yang menurutku wajar-wajar saja.
            “Bukan siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Aku menggelengkan kepala.
            Ya ampun, biasa deh si Windy. Kenapa dia selalu cemberut, dan kayak orang yang pikirannya menerawang begitu. Ayolah Beb, jangan negative thinking gitu. Aku sendiri pun nggak bisa ngejelasin siapa cewek aneh yang selama tiga hari ini selalu neleponin aku.       
            “Kamu kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibirku, membuatnya berhenti melamun.
            Namun dia diam saja.
            Aku ingin dia berhenti ngambek, dan stop untuk mencurigaiku, karena hal itu takkan bisa dibuktikannya. Kubelikan dia es krim vanilla kesukaannya di konter es krim di sudut kantin. Agar dia tahu kalau aku perhatian padanya dan aku masih ingat kalau dia penggemar es krim vanilla.
            Emosi Windy nampaknya mulai reda. Dan hal itu membuatku lega.
            Malam harinya, cewek aneh itu meneleponku lagi. Ralat, mungkin lebih pantas dibilang cewek gila, daripada cewek aneh. Aku sengaja tak mengangkatnya, namun rupanya cewek gila itu tak menyerah. Sampai lima kali handphone-ku bernyanyi, sampai-sampai ayahku yang berada di ruang sebelah, memanggil-manggil namaku agar segera mengangkat telepon.
            “Ada apa lagi…?” baru meng-klik tombol yes, aku sudah memarahinya.
            “Kebun Raya Bogor, hari Minggu.” Hanya sepotong kalimat itu yang kudengar, membuat kepalaku nyaris migrain.
            “Hey, maksudnya apaan nih?” desakku penasaran campur sebal.
            “Kita harus ketemu di Kebun Raya Bogor, dua hari lagi. Hari Minggu. Oke?” nada bicaranya itu seperti tertekan.
            “Iya, tapi buat apa? Maksudnya apa?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan bingung. “Kalo aku nggak mau, gimana?”
            “Kalo kamu nggak mau, kamu akan nyesel.”
            “Ha-ha-ha.” Sumpah, aku nggak takut sama ancaman dia.
            “Terserah. Kamu ketawa sekenceng apa pun, yang jelas kamu akan nyesel karena pacaran sama Windy.”
            Klik! Untuk pertama kalinya cewek gila itu yang lebih dulu memutuskan hubungan telepon. Dan untuk pertama kalinya pula, dia membuatku tak bisa tidur malam ini....
***
Daun-daun berguguran dari setiap pepohonan yang sangat besar dan kokoh, serta tinggi menjulang, di Kebun Raya Bogor yang sangat ramai di Minggu pagi ini. Dan aku sangat menikmati daun-daun berguguran itu, rasanya seperti aku berada dalam cerita sebuah komik romantis. Terlebih lagi saat aku melewati jembatan dan di bawahnya terhampar sungai-sungai bebatuan.
            Setahun yang lalu tempat ini pernah menorehkan luka yang amat dalam di hatiku, di cintaku, dan juga di mimpi-mimpiku....
            Kamu jahat, Bara. Kamu harus merasakannya. Bagaimana sakit dan perihnya.
            Tiba-tiba handphone-ku berdering dan nama Bara tertera di layar. Klik! Aku hanya menempelkan handphone di telinga, tanpa sudi menyapanya terlebih dahulu.
            “Halo, kamu udah di mana…?” kejar Bara.
            Sebelum kujawab pertanyaannya, kututup bibirku dengan lipatan sapu tangan, agar suaraku tersamarkan. “Kamu tunggu aja di Kafe Dedaunan…”
            “Kafe Dedaunan?” Aku membayangkan alisnya berkerut.
            “Iya, kamu tanya aja orang-orang di sekitar… tempatnya tuh ya hamparan rumput aja, banyak reruntuhan daun di situ.”
            “Aduh, udah deh jangan bikin aku bingung. Di tempatku aja.”
            “Ya udah, kamu lagi di mana sekarang?” tanyaku sebal, sekaligus deg-degan.
            “Aku di deket kolam air mancur nih… pokoknya rumputnya bersih, dan banyak ilalangnya juga…”
            Ya Tuhan, ilalang… aku benar-benar… tidak, dia pasti masih mengingat dan berkesan dengan tempat itu…. Kalau tidak, kenapa dia memilih tempat itu.
            Lima menit kemudian aku sampai di tempat Bara berada. Aku berdiri di puncak rerumputan yang menurun curam…. Dan di tepi kolam sana duduk seorang cowok yang memunggungiku, tubuhnya terhalang batang-batang ilalang….
            Aku menuruni rerumputan dan memetik dua batang ilalang. Setahun yang lalu dia memetik dua batang ilalang dan memberikan masing-masing satu untuk aku dan dia.
            Di sekitar kami tak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa pengunjung dan itu pun letaknya nun jauh di hamparan rerumputan luas di seberang sana.... Aku melangkah dan kini hanya sejengkal dari tempat dia duduk di rumput....
            Bara menempelkan handphone-nya di telinganya, dan tak lama kemudian handphone-ku berbunyi.... Dia terlonjak kaget. Lebih kaget lagi saat melihat siapa cewek yang berdiri di hadapannya....
            “Helen?!” Dia tampak sangat terkejut.
            “Bara.” Aku hanya mengucapkan namanya dengan nada lirih.
            Dia masih sama tampannya seperti terakhir kami bertemu. Hanya tubuhnya saja yang terlihat agak gemuk. Bara.... kauapakan diriku, sampai aku tak sanggup merelakan kepergianmu.
            “Kamu…? Jadi kamu yang…?”
            Aku kehilangan kendali, dan air mataku tumpah saat itu juga. Aku menubruknya, memeluknya. Bara membalas pelukanku, walau kutahu mungkin dia melakukannya atas dasar rasa iba.
            Ya Tuhan, jangan pisahkan kami... pintaku lirih. Aku nggak bisa hidup tanpa dia, Tuhan... please....
            “Kamu kenapa nekat ngelakuin itu, Helen...?” tanyanya lagi dengan gugup, aku tahu dia tak mungkin marah. Ya, dia adalah cowok terbaik yang pernah kutemukan.
            Aku menggeleng dalam pelukannya. Aku ingin dia tahu, air mata yang kujejakkan di pundaknya tak akan pernah cukup untuk melukiskan rinduku padanya.
            “Kita udah putus tiga bulan yang lalu, Helen. Kamu harus tau itu.” Kudengar suara pelan Bara.
            “Kangen kamu,” kataku singkat, makin memeluknya erat. “Kangen ilalang.”
            “Helen… kita udah nggak bisa sama-sama lagi…”
            “Kenapa, Bara? Aku bisa kok, merubah semua sifat jelek aku. Kalau kamu jengah pacaran sama cewek yang menurut kamu terlalu over protektif, oke, fine. Aku akan merubahnya!”
            “Tapi sayangnya, Helen… udah ada cewek yang gantiin posisi kamu. Please, aku harap kamu ngerti…”
            Aku tahu, maka aku diam saja.
            “Emangnya kamu tahu apa tentang Windy?” tanya Bara.
            Aku tahu hanya karena pertanyaan itulah maka Bara mau datang jauh-jauh ke Kebun Raya Bogor, agar dia tahu jawabannya. Padahal aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang Windy.
            “Siapa Windy?” Bara kini mendesakku dan melepaskan pelukanku.
            Namun handphone-ku berdering, dan kujawab sambil menjauh dari Bara.
            “Halo, aku udah sampai nih!” Kudengar suara cewek di seberang sana.
            Dan aku menyuruhnya datang ke tempat ini. Lalu aku menutup telepon dan menghampiri Bara, menunjukkan dua batang ilalang yang sejak tadi kupegangi dengan erat.
            “Kamu masih ingat, Bara…?”
            “Ingat.” Wajahnya merah jambu.
            “Dua batang ilalang menjadi saksi kita jadian. Dua batang ilalang menjadi saksi kita putus.”
            “Helen, please.”
            Aku menangis di depannya, biarlah dia menganggapku lemah. Namun aku senang terlihat lemah di depannya, karena dia harus tahu aku lemah tanpa cinta darinya! Dan dia menghampiriku, lalu memelukku. Hanya saja, yang kudapat saat ini adalah hangat pelukan seorang cowok kepada sahabat ceweknya. Walau terasa sekali respek darinya.
            “Kita masih bisa temenan, tau.” Dia berbisik.
            “Aku bisa mati tanpa kamu, Bara. Kamu cinta mati aku....”
            “Kenapa kamu bisa bilang begitu…?”
            “Karena memang itu yang aku rasain.”
            “Kamu akan berhenti ngerasain itu, kalo kamu udah punya pengganti aku.”
            Aku menggeleng. Namun aku tak mau lepas dari pelukannya. Saat itu aku melihat sosok cewek berlari-lari kecil menghampiri kami. Aku tahu namanya Windy. Dan cewek itu menutup bibirnya dengan tangan, wajahnya terlihat terkejut.
            Aku tersenyum puas....
            “Bara,” pekiknya tertahan.
            Dan Bara yang dapat mengenali suara itu, langsung refleks melepaskanku dari pelukannya. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Windy, lalu bergantian menatapku dengan ekspresi kaget dan marah....
            “Jadi benar, apa yang aku takutin selama ini.” Windy terisak. “Aku setengah mati untuk positive thinking ke kamu, tapi…”
            “Windy, jangan salah paham dulu! Kamu cuma…” Bara susah meneruskan kalimatnya. “…salah paham. Aku sama dia udah nggak punya hubungan apa-apa!” lanjutnya sambil menunjukku.
            Dua batang ilalang lepas dari genggamanku. Kenapa, Bara? Kenapa dengan gampangnya kamu bisa melupakan aku? Aku seperti dicampakkan, kamu memang sudah tak menganggapku lagi, dan Windy lebih penting bagimu, daripada aku!
            Kamu tahu, Bara, aku nggak mau kehilangan kamu!
            Kudengar Windy menangis: “Aku mencintaimu, Bara. Tapi… apakah kamu layak untuk kucintai?”
            “Layak, Beb. Aku pasti setia sama kamu!”
            Aku langsung bergerak maju dan mendorong tubuh Bara hingga dia kehilangan keseimbangan. Dia doyong dan terjatuh ke kolam air mancur… tubuhnya basah kuyup. Rasanya puas sekali mendorong dia sampai jatuh ke kolam. Rasanya seperti cemburuku ikut tercebur ke kolam itu juga.
            “Bara!” Windy menjerit kaget.
            Dia berlari menuju kolam, dan saat melewatiku dia memakiku sambil menunjuk wajahku: “Gila kamu!”
            Dengan susah payah dia menolong kekasihnya agar bangun dari kolam dan menjejakkan kakinya di rumput. Bara berterima kasih padanya, dan mataku sempat melihatnya mengecup kening Windy. Mereka sepertinya tak mempedulikan keberadaanku, juga perasaanku.
            Tak sadar aku melangkah menjauhi mereka, membawa air mata yang menemani kepedihanku. Biar saja semua orang melihat air mata ini. Biar saja seluruh dunia melihat betapa rapuhnya jiwa ini. Karena seluruh cintaku sudah tenggelam jauh di dalam hati Bara, dan takkan terjangkau olehku lagi....

Cerpen ini pernah dimuat di Story Teenlit Magazine
Edisi 37 (September-Oktober 2012)



Pages

Powered by Blogger.

Blogger templates