Poppy berlari-lari kecil di sebuah gang kecil yang becek menghampiri sebuah rumah petak yang tertutup pintunya. Dengan sisa-sisa semangat yang ada dia mengetuk pintunya dengan pelan, seolah takut mengusik para penghuni di dalamnya. Gadis cantik itu menggigil kedinginan dengan pakaian yang sedikit basah di sana-sini, gara-gara terguyur gerimis.
“Poppy?” seorang perempuan berusia empat puluh tahunan membukakan pintu dan memandangnya dengan iba. “Kamu nggak pulang lagi ke rumah?”
Perempuan ini adalah Tante Kamila, mamanya Karin, sahabat Poppy sekaligus teman sekelasnya di kelas XI IPA II di SMU Permata Hati Bunda. Jelas Tante Kamila bertanya seperti itu karena penasaran sudah tiga hari ini Poppy selalu datang mengenakan pakaian putih-abu-abunya.
“Tante, maaf ya aku mau ngerepotin lagi…” pinta Poppy memelas. “Aku mau nginep lagi, Tante. Itu juga kalo Tante ngijinin.”
Tante Kamila menghela nafas iba. Dia tidak berani menerka apalagi bertanya langsung pada Poppy apa gerangan yang menyebabkannya ingin menginap di sini, di rumah mungil ini. Sepertinya Karin-lah yang lebih tepat ditanyai.
“Pintu rumah ini selalu terbuka buat kamu, Poppy…”
***
Malam ini untuk ketiga kalinya Karin membagi tempat tidur di kamarnya yang sempit untuk ditiduri dirinya dan Poppy,  sahabatnya.
Karin iba melihat perubahan drastis dalam diri Poppy. Sahabatnya yang tajir, kapan pun dan di manapun selalu diiringi tawa kebahagiaan tanpa sekalipun terbersit di otaknya tentang keprihatinan menjalani hidup pas-pasan, dan hidup selalu berkecukupan dengan segala pakaian-pakaian trendy, motor pribadi, serta gadget yang dia punya, kini gadis cantik itu hanya bisa berdiri terpekur di ambang jendela kamar Karin, menatap kerlap-kerlip kunang-kunang di persawahan di seberang kali kotor di luar sana. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dangdut dari radio butut di warung jamu di dekat persawahan gelap itu, lumayan mengusir kesunyian malam.
“Udah malem, Pop,” cetus Karin iba yang sedang membersihkan tempat tidur dengan sapu lidi. “Tidur, yuk?”
Namun Poppy tidak menolehkan kepalanya sedikit pun, apalagi menyahut. Karin lalu menyalakan obat nyamuk bakar di sudut kamar dan setelahnya ia menghampiri jendela, tepatnya menghampiri Poppy.
“Lo tidur dulu aja, Rin. Gue masih pengen di sini… mengenang semuanya.” Poppy berucap dengan dada bergetar. Matanya tampak jelas berjuang keras menahan air mata.
“Mengenang apa?” tanya Karin sedih.
“Ya semuanya. Nyokap gue. Bokap gue. Adek gue. Dan semua itu berubah semenjak nyokap gue…” Poppy tidak sanggup meneruskan kalimatnya.
“Poppy…” Air mata tak terasa mengalir dari kedua pipi Karin saat dengan refleks ia memeluk tubuh Poppy. Karin memang memiliki rasa empati yang tinggi, ia gampang merasakan apa yang orang lain rasakan.
Poppy menjatuhkan air mata di bahu Karin, membuat bahu Karin sedikit basah. Namun Karin seolah tidak merasakannya, ia justru mengelus-elus punggung Poppy, menenangkannya.
“Jadi, sampai sekarang bokap-nyokap lo masih belum damai...?” tanya Karin prihatin.
Karin merasakan tekanan yang berulang-ulang di bahunya, pertanda Poppy mengangguk.
“Justru makin parah…” Poppy masih terisak. “Rumah gue udah nggak ada lagi suasana harmonis sama sekali, Rin. Kedamaian yang dulu pernah gue rasain, kini semuanya ilang…”
Setelah meringankan kesedihan Poppy dengan segelas air putih, Karin akhirnya berhasil membujuknya ke tempat tidur. Mereka terlentang berdampingan menatap langit-langit kamar, dan pada polosnya langit-langit kamar seolah terukir bayangan tentang kisah sedih yang diuraikan oleh Poppy…
Akhir-akhir ini, Tante Lidya, mamanya Poppy, terlihat sangat dekat dengan Om Danu, mantan kliennya di kantor. Membuat Om Arjuna, papanya Poppy, sedikit cemburu. Dan bukannya meminta maaf, Tante Lidya malah mencari-cari alasan dan menunjuk bahwa Om Arjuna adalah seniman egois yang tidak pandai membagi waktu antara saat-saat untuk “ada” ketika dibutuhkan perhatiannya, dan saat-saat untuk berkutat dengan pekerjaannya sebagai seorang pelukis. Puncaknya, yang ditemui di rumah Poppy adalah perselisihan paham, karena tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.
Dan sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karir, Tante Lidya merasa harus tetap profesional menjalankan pekerjaannya, dia tidak mau membawa masalah rumah tangga ke dalam pekerjaannya. Ketika di rumah dia sudah tidak dapat menghindari pertengkaran yang memakan hati dan perasaan, dia semakin giat menghadapi tumpukan pekerjaannya di kantor. Singkatnya, dia ingin menghindari rasa bersalahnya dengan berbagai kesibukan.
Sementara Om Arjuna yang sangat mencintai ketenangan di dalam rumah tangganya, merasa tidak perlu membesar-besarkan masalahnya dengan istrinya. Hanya saja, sifatnya yang labil sering menyebabkan pertengkaran bahkan Poppy pernah melihatnya hampir berbuat kasar.
Kini dia mencintai sekaligus membenci istrinya. Di antara serpihan kekecewaannya sebagai seorang kepala rumah tangga, dia masih menaruh harapan pada Poppy dan si bungsu Tobby yang masih duduk di bangku SD. Mereka berdua-lah alasan Om Arjuna untuk memunguti serpihan kekecewaan itu, menjadi semangat jiwa untuk menatap hari esok!
Malam sudah semakin larut dan berangsur-angsur rasa kantuk membuat cerita Poppy menguar di udara. Pada akhirnya mereka tersembunyi di balik lindungan selimut dan diam-diam telunjuk mama Karin menekan tombol sakelar untuk mematikan lampu kamar.
Dalam kegelapan kamar yang disinggahi cahaya temaram sang rembulan, Tante Kamila mengecup kening Karin dan Poppy. Saat Tante Kamila melangkah keluar, diam-diam air mata Poppy meleleh.
***
Satu sekolah heboh. Poppy sudah seminggu tidak masuk sekolah. Tanpa pemberitahuan, dan tanpa pesan. Guru-guru pun mengaku tidak tahu apa-apa sehubungan dengan menghilangnya Poppy. Terlebih lagi tak ada seorang pun yang bisa ditemui di rumah Poppy.
Bukan hanya guru-guru dan teman-teman yang panik, tapi juga Karin dan mamanya. Karin tidak punya handphone, jadi dapat kabar dari mana selain Poppy menunjukkan batang hidung di depannya.
“Karin! Tunggu…!” seorang cowok berlari menghampiri Karin yang sedang berjalan murung di koridor sekolah.
Karin menghentikan langkahnya dan membiarkan cowok itu berhenti di hadapannya. Dia adalah Sandy, cowok cool yang selama ini menjadi pujaan hati Poppy.
“Ya?” Karin mengerutkan alis.
“Lo udah tau di mana Poppy?” Sandy bertanya cemas.        
 Karin menggeleng antara sedih dan sebal. Kenapa dia baru memedulikan sekarang? Kenapa di saat keberadaan Poppy tidak diketahui ada di mana? Seandainya cowok ini tahu betapa sakitnya Poppy memendam perasaan!
Selama ini Poppy hanya bisa menyimpan kekaguman kepada cowok kalem ini, Karin tahu itu karena dulu Poppy pernah curhat padanya tentang perasaannya pada Sandy. Tapi itu dulu. Poppy seperti berusaha menarik perkataannya semenjak dengan terang-terangan Sandy menitip salam untuk Karin melalui Poppy, dan berharap Poppy menjadi mak comblang antara dia dan Karin. Wah, Karin masih belum bisa melupakan bagaimana merahnya wajah Poppy saat menyampaikan salam manis untuknya dari Sandy! Karin tahu Poppy pura-pura tidak ada apa-apa saat menyampaikan salam manis dari Sandy, tapi mata Poppy bicara, dan gerak tubuhnya menjawab apa yang sebenarnya berkecamuk di hatinya. Melihat kepura-puraan Poppy, justru Karin merasa tidak enak hati.
Dan sekarang, cowok ini berdiri di hadapan Karin! Demi Tuhan, Karin tidak mengagumi cowok ini sejengkal pun dan lagipula Karin merasa persahabatannya dengan Poppy jauh lebih berharga daripada urusan cowok semata!
“Peduli apa lo sama dia?!” Karin tidak sanggup menahan emosinya lagi.
“Kok lo emosional gitu sih jawabnya?!” cetus Sandy heran. “Gue cuma...” Dan sebelum Sandy menyelesaikan kalimatnya, Karin sudah meninggalkan cowok itu dengan membawa perasaan kesal yang kurang beralasan.
Dalam hati Karin menyesal juga karena sebenarnya Sandy toh tidak tahu tentang perasaan Poppy. Tapi biarlah, Karin merasa puas meninggalkan Sandy yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
***
Malam harinya, di dapurnya yang mungil Karin dan mamanya duduk berhadapan di meja makan sambil menikmati hidangan mie instan pakai telur setengah matang. Asap mengepul-ngepul dari mangkok dan kehangatan mie instan sanggup melawan hawa dingin yang disebarkan derasnya hujan di luar.
Sementara Widya, adik Karin yang baru menginjak usia enam tahun, duduk di lantai menyuapi si bungsu Kamal (usianya tiga tahun) nasi pakai sayur sop dan dua iris tempe.
Dan ketenangan itu tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu yang tidak terdengar keras, namun cukup untuk membuat Karin dan mamanya bertukar pandangan menebak.
Benar saja. Begitu Karin dan mamanya menghambur ke pintu untuk melihat siapa orang di baliknya, gadis cantik itu berdiri dengan kondisi yang sangat memprihatinkan: Poppy. Dia menangis tersedu-sedu dan langsung menubruk tubuh Karin dan langsung memeluknya. Di bahu Karin dia seolah menumpahkan sekaligus membagi duka laranya. Dan untuk kesekian kalinya air mata Poppy mampir di bahu Karin.
Dengan ikhlas dan sabar Tante Kamila membimbing Poppy ke dapur, menyuguhkan secangkir teh manis hangat untuk meringankan kesedihannya.
“Kalian baik banget…” tak henti-hentinya Poppy berterimakasih sambil menghirup pelan teh manis itu dengan tangan agak gemetar.
“Kami hanya ingin meringankan bebanmu sebisa kami, Nak…” ujar Tante Kamila. “Ceritalah apa yang ingin kauceritakan. Kami selalu membuka lebar-lebar telinga dan hati kami…”
***
Om Arjuna, papanya Poppy, ternyata mendapat serangan jantung dan sudah seminggu ini dia dirawat di rumah sakit. Berhari-hari Poppy menungguinya di sisi pembaringan tanpa sesaat pun ia meninggalkan ayah tercintanya itu.
Om Arjuna mengaku sangat terpukul karena Tante Lidya tidak dengan terang-terangan mengaku jatuh cinta kepada Om Danu! Mendengar cerita dari papanya, jantung Poppy berdebar diguncang kekecewaan, marah, dan sakit hati. Ternyata ini yang dia dapat di balik kesibukan mamanya sebagai seorang wanita karir. Perihnya!
Om Arjuna bilang, tidak apa-apa dia sudah kehilangan cinta dari seorang wanita yang sangat dicintainya. Alasannya, dia masih memiliki dua orang anak yang sangat dicintainya. Dan dia menaruh harapan besar kepada Poppy dan si bungsu Tobby.
Kondisi Om Arjuna semakin membaik dan Poppy menyelesaikan ceritanya sampai di situ, setidaknya ketika dia bercerita di ruang makan.
“Terus?” tanya Karin tak sabaran, sesaat setelah dia dan Poppy membaringkan tubuh berdampingan, seperti biasa menghadap langit-langit kamar yang akan terukir cerita dari Poppy.
“Terus, ternyata ada Sandy ngejenguk bokap gue,” ujar Poppy sumringah. “Sekarang dia yang gantian nungguin bokap di rumah sakit, sementara gue minta ijin nginap di sini untuk ngabarin kalian, trus besok gue udah masuk sekolah.”
“Hah? Kok bisa?” Karin mengalami dua rasa kaget sekaligus. Pertama, kenapa Sandy tahu Om Arjuna dirawat dan menjenguknya. Kedua, kenapa seolah ada rona bahagia yang kasat mata saat Poppy menyebut nama Sandy!
“Semua karena ada cinta lain yang datang diam-diam,” jawab Poppy. “Setelah sebelumnya cinta juga pergi diam-diam dalam keluarga kami…”
“Maksudnya?”
“Karin. Sebenernya gue jahat banget sama elo. Selama ini gue ngiri, cemburu, sekaligus terkadang mengutuk kesempurnaan lo. Di balik kehidupan lo yang miskin–punya nyokap janda dan tukang jahit–elo hidup dalam lingkaran cinta yang membahagiakan. Cinta yang nyokap lo punya, ditunjukin secara terang-terangan dan tanpa ragu sama sekali. Dan ngomong-ngomong tentang Sandy, ternyata dia…”
Poppy bercerita, kalau siang tadi Sandy menyatakan perasaannya pada Poppy. Mereka sudah jadian! Rupanya sejak lama Sandy mengetahui perasaan Poppy yang terpendam. Dan dia hanya ingin membuat Poppy cemburu dengan cara selalu menyampaikan salam untuk Karin. Sampai akhirnya dia yakin tentang perasaan Poppy dan dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk menyatakan bahwa dia pun juga merasakan gejolak cinta yang sama! Wah, ternyata!
“Dan satu hal lagi yang membuat gue semakin yakin bahwa nggak ada gunanya terus-terusan bersedih...”
“Apa?” Karin semakin penasaran.
“Nyokap lo...” jawab Poppy. “Dia bilang, gue boleh panggil dia ‘Mama’. Dia bilang gue udah kayak anak kandungnya sendiri. Dia bilang gue boleh tidur di rumah ini kapan pun gue mau! Elo nggak marah kan…? Karin, lo nggak marah kan…?
Bagaimana mungkin aku marah, Poppy, bisik Karin dalam hati. Kamu adalah sahabatku dan kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Aku juga tidak mau kamu hidup dalam perasaan cemburu, melihat si Karin yang miskin ini tapi berkelimpahan cinta dari seorang ibu yang janda namun memiliki ketegaran yang mengagumkan.
Ibuku adalah matahari yang menerangi setiap langkahku dan mulai sekarang akan kubagi matahariku untuk menerangi hidup kita karena aku sangat menyayangimu, Sobat. Tidurlah yang nyenyak dan aku ada di sampingmu karena kini kita adalah saudara walau terlahir dari rahim yang berbeda.
“Apa perlu gue jawab?” balas Karin. “Yang elo perlu malam ini adalah tidur, dan cuma mimpi indah yang harus kita dapetin malam ini….”

Dimuat di Story Teenlit Magazine
Edisi 25 Feb - 25 Mar 2011