Belakangan ini saya kerap mendapatkan kabar tentang orang-orang yang ditinggal pergi oleh ibu mereka untuk selama-lamanya menghadap Yang Maha Kuasa. Contohnya ialah kematian ibu dari teman SMA saya, atau ibu dari teman sesama penulis. Kalau boleh saya jujur, setiap kali saya mendengar atau menyaksikan seseorang yang ibunya meninggal, saya jadi ingat tentang salah satu hal yang paling saya takuti dalam hidup ini, yaitu menghadapi kematian orangtua, terutama Ibu. 
Tadi sore pada pukul 14:54, saya menerima telepon dari seorang tetangga, yang mengabarkan kepada saya tentang sebuah kematian. Saya terperanjat mendengarnya, hampir tidak percaya, dengan napas tertahan. Nenek saya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, beberapa menit sebelum kabar duka ini saya terima. Beberapa saat kemudian, suara ibu saya mengambil alih, untuk berbicara kepada saya (rupanya tetangga saya sedang berada di rumah saya, untuk menghibur ibu saya).
Suara Mama, begitu saya memanggil ibu saya, terdengar begitu lirih dan terbata, sehingga saya seolah dapat merasakan duka yang sedang ia alami.  Mama memberitahu saya bahwa ia harus segera menuju Madiun, kampung halamannya, di mana almarhumah Nenek sudah menunggunya di sana. Saya tak sadar sudah menutup sambungan telepon, dan beragam kenangan bersama Nenek berkelebatan cepat di kepala saya. Hati ini seperti tertusuk oleh entah apa. Meski tidak ada air mata menuruni kedua pipi ini, namun saya seolah-olah dapat merasakan empati yang begitu besar terhadap Mama.  
Saya adalah anak sulung dari empat bersaudara. Dan saya adalah anak yang paling dekat dengan Mama, sudah pasti saya yang paling memahami perasaannya. Dia sering curhat tentang apa saja kepada saya. Begitu juga sebaliknya, saya lumayan sering bercerita kepadanya.
Pada suatu malam, tak sengaja saya melihat uban mulai menyemak di rambut Mama. Dan untuk sejenak saya berpikir, alangkah panjangnya perjalanan hidup ini. Mama sudah menua, tak semuda dulu, kala saya masih sering menggambar dengan krayon dan rajin nonton Doraemon. Tapi saya yakin, pelukan Mama masih sehangat dulu.
***
Saat duduk di kelas empat SD, saya pernah mengalami kecelakaan kecil. Sepeda yang saya kendarai diserempet motor. Lutut saya lecet, tapi saya cengeng. Saya terisak, dan takut diomeli oleh orang-orang dewasa yang saya pikir akan menganggap saya tidak hati-hati mengendarai sepeda. Orang-orang mengerumuni saya, menanyakan di mana alamat saya. Tak lama kemudian Mama datang sambil menangis dan memeluk saya erat. Di pelukannya itulah saya tumpahkan air mata seorang bocah lelaki yang mengadu kepada ibunya. Ada kehangatan yang menjalar ke sekujur saya, dan berubah menjadi kekuatan. Kekuatan itu tidak saya kenali namanya, namun saya meyakininya.
“Sudah, jangan menangis lagi. Ayo Mama antar kamu untuk periksa ke Dokter….”
Ah, alangkah indahnya mengenang kehangatan sebuah keluarga di masa kecil. Dulu Mama dan Bapak (saya tidak memanggil ayah saya dengan sebutan Papa), sering mengajak saya mengikuti lomba menggambar, dan membelikan saya peralatan menggambar.
Kini semuanya hampir memiliki banyak perubahan. Ketika saya sedang jatuh terpuruk didera permasalahan hidup, saya tidak menunjukkan air mata kepada Mama, meskipun saya yakin, intuisi seorang ibu sangatlah tajam. Tak jarang ia bertanya semisal ini, “Lagi ada masalah, ya…? Cerita dong ke Mama….” yang biasanya langsung saya balas dengan senyuman kecut atau gelengan kepala. Jika saya membohongi Mama, saya tidak berani menatap matanya.
Namun kekompakan hati itu seolah masih terjaga dengan kuat sampai sekarang. Mama adalah ibu yang memiliki selera humor yang kuat, dan itu yang membuat saya menilai dia unik. Mama adalah pekerja keras, seorang Cancer yang setia kawan, dan emosional. Jika ada hal yang lucu sedikit saja, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Tak jarang ia menertawakan kesedihan. Namun ia juga menangis tersedu-sedu sampai kehilangan selera makannya selama berhari-hari, ketika ayah saya meninggal dunia pada tahun 2010. Tapi jangan salah, Mama adalah perempuan kuat, makhluk hebat. Pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki, ia sanggup mengerjakannya. Bahkan, Mama dan Nenek memiliki satu kesamaan; sering menggaruk tubuhnya dengan sisir atau sisi pisau yang tumpul. Agak aneh, tapi nyata dan ada.
***
Hari ini hujan turun dengan deras, sesekali gerimis namun awet. Saya masih berada di meja kantor saat tulisan ini sedang saya selesaikan. Saya membayangkan Mama berurai air mata saat perjalanannya menuju Madiun. Jarak yang ia belah dengan kesedihan dan kenangan manis dengan ibunya. Saya berdoa agar Nenek diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Mama diberikan ketabahan dan kekuatan. Dan di sisa hidup saya ini, saya senantiasa diberikan kesanggupan untuk membahagiakan hati Mama. Aamiin.