Aku mencintaimu, Bara. Tapi….
            Aku tak jadi meneruskan kalimat pada sms yang kutulis, dan segera men-delete-nya. Tak baik rasanya bila lewat tengah malam begini aku mengganggu Bara, yang mungkin saja tengah tertidur lelap, walaupun dia adalah pacarku.
            Namaku Windy. Sudah tiga bulan aku dan Bara menjalin hubungan yang disebut pacaran ini. Dia datang di saat aku sedang berusaha bangkit di atas puing-puing kekecewaanku karena dikhianati pacarku. Dan aku beruntung bisa bertemu dengannya.
            Bara adalah cowok populer di kampusnya. Selain aktif di Mahasiswa Pecinta Alam, dia juga seorang model iklan dan sekarang sedang rajin-rajinnya mengikuti kursus akting. Bara sebetulnya adalah cowok pemalu, dia ingin terjun ke dunia entertainment karena  dukungan dari mamanya dan juga orang-orang di sekitarnya yang menyarankannya untuk memanfaatkan ketampanannya. Aku sih setuju-setuju saja dengan pilihan Bara. Bukankah kalau dia berhasil, dia akan menuai popularitas dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya? Dan lagipula, aku juga pasti akan kecipratan. Walaupun aku nggak tahu sampai kapan dia akan mempertahankanku sebagai pacarnya. Bukankan cowok selalu gampang bosan? Apalagi kalau punya banyak uang.
            Namun terlepas dari itu semua, Bara adalah keajaiban bagiku. Dia menyadarkanku kalau Bumi pasti berputar. Mentang-mentang aku putus cinta, bukan berarti aku patah semangat dan tidak mau lagi membuka hatiku untuk cowok, kan? Meskipun demikian, rupanya ada sesuatu yang mengganggu hari-hari dan malam-malamku beberapa hari ini. Ya, sejak tiga hari yang lalu tepatnya.
            Siang itu aku dan dia makan berdua di kantin kampus, dan mengobrol dengan ceria seperti biasanya. Tiba-tiba handphone Bara berdering, memperdengarkan sebuah lagu yang entah siapa penyanyinya dan apa judulnya, yang jelas lagu itu bukan seleraku. Dan aku sempat membaca kegugupan di wajah tampan itu. Sesaat setelah dia melihat barisan nomor asing di layar handphone-nya, dia langsung bangkit dari duduknya dan menjauh dariku, lalu menjawab teleponnya di sudut kantin. Dan aku sempat melihat keseriusan di wajahnya.
            “Siapa?” tanyaku, nyaris mendesak, saat dia sudah kembali duduk di hadapanku.
            “Bukan siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Dia menggeleng.
            Ya Tuhan. Bantu aku untuk mengenyahkan perasaan curiga yang tiba-tiba merayap di dalam hatiku ini. Yang aku tahu, Bara adalah cowok setia. Dia baik. Tapi kenapa sikapnya harus seperti itu? Kenapa dia seperti berusaha menutupi sesuatu?
            “Kamu kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibir Bara, mengusir lamunanku tentangnya.
            Aku diam saja, daripada berbohong lebih baik tidak menjawab.
            Mungkin karena tidak ingin aku ngambek terlalu lama, dia menghampiri konter es krim dan membelikanku es krim vanilla kesukaanku. Ya, Bara memang senang memberiku kejutan. Dia tahu aku paling suka es krim vanilla, dan dia juga tahu bagaimana cara menyenangkanku.
            Ah, Bara....
            Kita sama-sama punya masa lalu. Sama-sama pernah punya pacar. Dan sama-sama kepingin memperbaiki persepsi kita tentang makna pacaran. Kamu inginkan hubungan yang apa adanya dan santai untuk dijalani. Sedangkan aku inginkan kejujuran dari kita, apa pun itu.
            Tapi sejak handphone-mu selalu berbunyi... dan kau selalu menghindar dariku saat kauangkat teleponnya....
            Aku mencintaimu, Bara. Tapi... apakah kamu layak untuk kucintai?
            “Es krimnya keburu meleleh, Beb.” Dia mengusir lamunanku lagi.
***
Lagi-lagi lagu Afterlife dari Avenged Sevenfold berbunyi nyaring dari handphone-ku, pertanda ada yang menelepon. Dan, betapa sial, kali ini lagu itu terdengar justru di saat aku sedang duduk berdua dengan Windy di kantin kampus tempat kami kuliah. Bukan karena bunyinya, tapi karena nomor asing yang tertera di layar handphone sudah kukenal.
            Sempat kulirik mata Windy yang memandangku curiga. Namun, entahlah, perasaanku tak enak. Pasti cewek aneh itu lagi. Aku langsung mengesampingkan keasyikanku dengan Windy.
            “Sebentar ya Beb,” kataku pada Windy.
            Aku langsung menjauh darinya dan berlari kecil ke sudut kantin, tanpa menghiraukan tatapan matanya, sekaligus perasaannya.
            “Halo?” sapaku bosan.
            “Ini, beneran nomor Bara, kan?” tanya suara cewek di seberang sana. Demi Tuhan, aku bosan mendengar pertanyaannya yang selalu sama. Buang-buang waktu saja!
            “Hai, sebenernya kamu siapa ya?” bentakku tak sabaran. “Bukannya dari kemaren-kemaren aku bilang ‘iya’ kalo namaku Bara?”
            Sesaat hanya ada kebisuan di seberang sana. Lalu lanjutnya:
            “Maaf, aku cuma takut kamu bo’ong.” Perkataan yang jelas membuat emosiku memuncak.
            “Emangnya kalo aku bo’ong kenapa, kalo aku bener juga kenapa?”
            “Ya nggak kenapa-napa.” Dia malah tertawa. “Aku cuma ngerasa ajaib aja, bisa ngomong sama calon artis seganteng… Bara.”
            Entahlah, apa warna pipiku saat cewek itu mengucapkan kalimat barusan. Yang jelas, aku risih, dan sangat tidak suka mendengarnya.
            “Sebenernya mau kamu apa sih?” bentakku lagi.
            “Aku? Aku pengen ketemu sama kamu, Bara.” Cewek itu berterus terang.
            “Buat apa?”
            “Ngobrol.”
            “Ngobrol?”
            “Iya.”
            “Aku nggak mau. Nanti ada yang marah, tau.”
            Klik! Aku langsung mematikan hubungan telepon. Dan melesat cepat menghampiri Windy. Aduh, benar saja dugaanku. Windy cemberut! Tapi, nggak penting juga kalau aku cerita tentang cewek aneh yang barusan telepon aku. Buat apa juga, hanya akan mengganggu Windy.
            “Siapa?” tanya Windy seperti mendesak, namun aku menghargai sikapnya, yang menurutku wajar-wajar saja.
            “Bukan siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Aku menggelengkan kepala.
            Ya ampun, biasa deh si Windy. Kenapa dia selalu cemberut, dan kayak orang yang pikirannya menerawang begitu. Ayolah Beb, jangan negative thinking gitu. Aku sendiri pun nggak bisa ngejelasin siapa cewek aneh yang selama tiga hari ini selalu neleponin aku.       
            “Kamu kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibirku, membuatnya berhenti melamun.
            Namun dia diam saja.
            Aku ingin dia berhenti ngambek, dan stop untuk mencurigaiku, karena hal itu takkan bisa dibuktikannya. Kubelikan dia es krim vanilla kesukaannya di konter es krim di sudut kantin. Agar dia tahu kalau aku perhatian padanya dan aku masih ingat kalau dia penggemar es krim vanilla.
            Emosi Windy nampaknya mulai reda. Dan hal itu membuatku lega.
            Malam harinya, cewek aneh itu meneleponku lagi. Ralat, mungkin lebih pantas dibilang cewek gila, daripada cewek aneh. Aku sengaja tak mengangkatnya, namun rupanya cewek gila itu tak menyerah. Sampai lima kali handphone-ku bernyanyi, sampai-sampai ayahku yang berada di ruang sebelah, memanggil-manggil namaku agar segera mengangkat telepon.
            “Ada apa lagi…?” baru meng-klik tombol yes, aku sudah memarahinya.
            “Kebun Raya Bogor, hari Minggu.” Hanya sepotong kalimat itu yang kudengar, membuat kepalaku nyaris migrain.
            “Hey, maksudnya apaan nih?” desakku penasaran campur sebal.
            “Kita harus ketemu di Kebun Raya Bogor, dua hari lagi. Hari Minggu. Oke?” nada bicaranya itu seperti tertekan.
            “Iya, tapi buat apa? Maksudnya apa?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan bingung. “Kalo aku nggak mau, gimana?”
            “Kalo kamu nggak mau, kamu akan nyesel.”
            “Ha-ha-ha.” Sumpah, aku nggak takut sama ancaman dia.
            “Terserah. Kamu ketawa sekenceng apa pun, yang jelas kamu akan nyesel karena pacaran sama Windy.”
            Klik! Untuk pertama kalinya cewek gila itu yang lebih dulu memutuskan hubungan telepon. Dan untuk pertama kalinya pula, dia membuatku tak bisa tidur malam ini....
***
Daun-daun berguguran dari setiap pepohonan yang sangat besar dan kokoh, serta tinggi menjulang, di Kebun Raya Bogor yang sangat ramai di Minggu pagi ini. Dan aku sangat menikmati daun-daun berguguran itu, rasanya seperti aku berada dalam cerita sebuah komik romantis. Terlebih lagi saat aku melewati jembatan dan di bawahnya terhampar sungai-sungai bebatuan.
            Setahun yang lalu tempat ini pernah menorehkan luka yang amat dalam di hatiku, di cintaku, dan juga di mimpi-mimpiku....
            Kamu jahat, Bara. Kamu harus merasakannya. Bagaimana sakit dan perihnya.
            Tiba-tiba handphone-ku berdering dan nama Bara tertera di layar. Klik! Aku hanya menempelkan handphone di telinga, tanpa sudi menyapanya terlebih dahulu.
            “Halo, kamu udah di mana…?” kejar Bara.
            Sebelum kujawab pertanyaannya, kututup bibirku dengan lipatan sapu tangan, agar suaraku tersamarkan. “Kamu tunggu aja di Kafe Dedaunan…”
            “Kafe Dedaunan?” Aku membayangkan alisnya berkerut.
            “Iya, kamu tanya aja orang-orang di sekitar… tempatnya tuh ya hamparan rumput aja, banyak reruntuhan daun di situ.”
            “Aduh, udah deh jangan bikin aku bingung. Di tempatku aja.”
            “Ya udah, kamu lagi di mana sekarang?” tanyaku sebal, sekaligus deg-degan.
            “Aku di deket kolam air mancur nih… pokoknya rumputnya bersih, dan banyak ilalangnya juga…”
            Ya Tuhan, ilalang… aku benar-benar… tidak, dia pasti masih mengingat dan berkesan dengan tempat itu…. Kalau tidak, kenapa dia memilih tempat itu.
            Lima menit kemudian aku sampai di tempat Bara berada. Aku berdiri di puncak rerumputan yang menurun curam…. Dan di tepi kolam sana duduk seorang cowok yang memunggungiku, tubuhnya terhalang batang-batang ilalang….
            Aku menuruni rerumputan dan memetik dua batang ilalang. Setahun yang lalu dia memetik dua batang ilalang dan memberikan masing-masing satu untuk aku dan dia.
            Di sekitar kami tak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa pengunjung dan itu pun letaknya nun jauh di hamparan rerumputan luas di seberang sana.... Aku melangkah dan kini hanya sejengkal dari tempat dia duduk di rumput....
            Bara menempelkan handphone-nya di telinganya, dan tak lama kemudian handphone-ku berbunyi.... Dia terlonjak kaget. Lebih kaget lagi saat melihat siapa cewek yang berdiri di hadapannya....
            “Helen?!” Dia tampak sangat terkejut.
            “Bara.” Aku hanya mengucapkan namanya dengan nada lirih.
            Dia masih sama tampannya seperti terakhir kami bertemu. Hanya tubuhnya saja yang terlihat agak gemuk. Bara.... kauapakan diriku, sampai aku tak sanggup merelakan kepergianmu.
            “Kamu…? Jadi kamu yang…?”
            Aku kehilangan kendali, dan air mataku tumpah saat itu juga. Aku menubruknya, memeluknya. Bara membalas pelukanku, walau kutahu mungkin dia melakukannya atas dasar rasa iba.
            Ya Tuhan, jangan pisahkan kami... pintaku lirih. Aku nggak bisa hidup tanpa dia, Tuhan... please....
            “Kamu kenapa nekat ngelakuin itu, Helen...?” tanyanya lagi dengan gugup, aku tahu dia tak mungkin marah. Ya, dia adalah cowok terbaik yang pernah kutemukan.
            Aku menggeleng dalam pelukannya. Aku ingin dia tahu, air mata yang kujejakkan di pundaknya tak akan pernah cukup untuk melukiskan rinduku padanya.
            “Kita udah putus tiga bulan yang lalu, Helen. Kamu harus tau itu.” Kudengar suara pelan Bara.
            “Kangen kamu,” kataku singkat, makin memeluknya erat. “Kangen ilalang.”
            “Helen… kita udah nggak bisa sama-sama lagi…”
            “Kenapa, Bara? Aku bisa kok, merubah semua sifat jelek aku. Kalau kamu jengah pacaran sama cewek yang menurut kamu terlalu over protektif, oke, fine. Aku akan merubahnya!”
            “Tapi sayangnya, Helen… udah ada cewek yang gantiin posisi kamu. Please, aku harap kamu ngerti…”
            Aku tahu, maka aku diam saja.
            “Emangnya kamu tahu apa tentang Windy?” tanya Bara.
            Aku tahu hanya karena pertanyaan itulah maka Bara mau datang jauh-jauh ke Kebun Raya Bogor, agar dia tahu jawabannya. Padahal aku sama sekali tak tahu apa-apa tentang Windy.
            “Siapa Windy?” Bara kini mendesakku dan melepaskan pelukanku.
            Namun handphone-ku berdering, dan kujawab sambil menjauh dari Bara.
            “Halo, aku udah sampai nih!” Kudengar suara cewek di seberang sana.
            Dan aku menyuruhnya datang ke tempat ini. Lalu aku menutup telepon dan menghampiri Bara, menunjukkan dua batang ilalang yang sejak tadi kupegangi dengan erat.
            “Kamu masih ingat, Bara…?”
            “Ingat.” Wajahnya merah jambu.
            “Dua batang ilalang menjadi saksi kita jadian. Dua batang ilalang menjadi saksi kita putus.”
            “Helen, please.”
            Aku menangis di depannya, biarlah dia menganggapku lemah. Namun aku senang terlihat lemah di depannya, karena dia harus tahu aku lemah tanpa cinta darinya! Dan dia menghampiriku, lalu memelukku. Hanya saja, yang kudapat saat ini adalah hangat pelukan seorang cowok kepada sahabat ceweknya. Walau terasa sekali respek darinya.
            “Kita masih bisa temenan, tau.” Dia berbisik.
            “Aku bisa mati tanpa kamu, Bara. Kamu cinta mati aku....”
            “Kenapa kamu bisa bilang begitu…?”
            “Karena memang itu yang aku rasain.”
            “Kamu akan berhenti ngerasain itu, kalo kamu udah punya pengganti aku.”
            Aku menggeleng. Namun aku tak mau lepas dari pelukannya. Saat itu aku melihat sosok cewek berlari-lari kecil menghampiri kami. Aku tahu namanya Windy. Dan cewek itu menutup bibirnya dengan tangan, wajahnya terlihat terkejut.
            Aku tersenyum puas....
            “Bara,” pekiknya tertahan.
            Dan Bara yang dapat mengenali suara itu, langsung refleks melepaskanku dari pelukannya. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Windy, lalu bergantian menatapku dengan ekspresi kaget dan marah....
            “Jadi benar, apa yang aku takutin selama ini.” Windy terisak. “Aku setengah mati untuk positive thinking ke kamu, tapi…”
            “Windy, jangan salah paham dulu! Kamu cuma…” Bara susah meneruskan kalimatnya. “…salah paham. Aku sama dia udah nggak punya hubungan apa-apa!” lanjutnya sambil menunjukku.
            Dua batang ilalang lepas dari genggamanku. Kenapa, Bara? Kenapa dengan gampangnya kamu bisa melupakan aku? Aku seperti dicampakkan, kamu memang sudah tak menganggapku lagi, dan Windy lebih penting bagimu, daripada aku!
            Kamu tahu, Bara, aku nggak mau kehilangan kamu!
            Kudengar Windy menangis: “Aku mencintaimu, Bara. Tapi… apakah kamu layak untuk kucintai?”
            “Layak, Beb. Aku pasti setia sama kamu!”
            Aku langsung bergerak maju dan mendorong tubuh Bara hingga dia kehilangan keseimbangan. Dia doyong dan terjatuh ke kolam air mancur… tubuhnya basah kuyup. Rasanya puas sekali mendorong dia sampai jatuh ke kolam. Rasanya seperti cemburuku ikut tercebur ke kolam itu juga.
            “Bara!” Windy menjerit kaget.
            Dia berlari menuju kolam, dan saat melewatiku dia memakiku sambil menunjuk wajahku: “Gila kamu!”
            Dengan susah payah dia menolong kekasihnya agar bangun dari kolam dan menjejakkan kakinya di rumput. Bara berterima kasih padanya, dan mataku sempat melihatnya mengecup kening Windy. Mereka sepertinya tak mempedulikan keberadaanku, juga perasaanku.
            Tak sadar aku melangkah menjauhi mereka, membawa air mata yang menemani kepedihanku. Biar saja semua orang melihat air mata ini. Biar saja seluruh dunia melihat betapa rapuhnya jiwa ini. Karena seluruh cintaku sudah tenggelam jauh di dalam hati Bara, dan takkan terjangkau olehku lagi....

Cerpen ini pernah dimuat di Story Teenlit Magazine
Edisi 37 (September-Oktober 2012)