Archive for April 2013
Belakangan ini saya kerap
mendapatkan kabar tentang orang-orang yang ditinggal pergi oleh ibu mereka
untuk selama-lamanya menghadap Yang Maha Kuasa. Contohnya ialah kematian ibu
dari teman SMA saya, atau ibu dari teman sesama penulis. Kalau boleh saya
jujur, setiap kali saya mendengar atau menyaksikan seseorang yang ibunya
meninggal, saya jadi ingat tentang salah satu hal yang paling saya takuti dalam
hidup ini, yaitu menghadapi kematian orangtua, terutama Ibu.
Tadi sore pada pukul
14:54, saya menerima telepon dari seorang tetangga, yang mengabarkan kepada
saya tentang sebuah kematian. Saya terperanjat mendengarnya, hampir tidak
percaya, dengan napas tertahan. Nenek saya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa,
beberapa menit sebelum kabar duka ini saya terima. Beberapa saat kemudian,
suara ibu saya mengambil alih, untuk berbicara kepada saya (rupanya tetangga
saya sedang berada di rumah saya, untuk menghibur ibu saya).
Suara Mama, begitu saya
memanggil ibu saya, terdengar begitu lirih dan terbata, sehingga saya seolah
dapat merasakan duka yang sedang ia alami. Mama memberitahu saya bahwa ia harus segera
menuju Madiun, kampung halamannya, di mana almarhumah Nenek sudah menunggunya
di sana. Saya tak sadar sudah menutup sambungan telepon, dan beragam kenangan
bersama Nenek berkelebatan cepat di kepala saya. Hati ini seperti tertusuk oleh
entah apa. Meski tidak ada air mata menuruni kedua pipi ini, namun saya
seolah-olah dapat merasakan empati yang begitu besar terhadap Mama.
Saya adalah anak sulung
dari empat bersaudara. Dan saya adalah anak yang paling dekat dengan Mama,
sudah pasti saya yang paling memahami perasaannya. Dia sering curhat tentang
apa saja kepada saya. Begitu juga sebaliknya, saya lumayan sering bercerita
kepadanya.
Pada suatu malam, tak
sengaja saya melihat uban mulai menyemak di rambut Mama. Dan untuk sejenak saya
berpikir, alangkah panjangnya perjalanan hidup ini. Mama sudah menua, tak
semuda dulu, kala saya masih sering menggambar dengan krayon dan rajin nonton
Doraemon. Tapi saya yakin, pelukan Mama masih sehangat dulu.
***
Saat duduk di kelas empat
SD, saya pernah mengalami kecelakaan kecil. Sepeda yang saya kendarai
diserempet motor. Lutut saya lecet, tapi saya cengeng. Saya terisak, dan takut
diomeli oleh orang-orang dewasa yang saya pikir akan menganggap saya tidak
hati-hati mengendarai sepeda. Orang-orang mengerumuni saya, menanyakan di mana
alamat saya. Tak lama kemudian Mama datang sambil menangis dan memeluk saya erat.
Di pelukannya itulah saya tumpahkan air mata seorang bocah lelaki yang mengadu
kepada ibunya. Ada kehangatan yang menjalar ke sekujur saya, dan berubah
menjadi kekuatan. Kekuatan itu tidak saya kenali namanya, namun saya
meyakininya.
“Sudah, jangan menangis
lagi. Ayo Mama antar kamu untuk periksa ke Dokter….”
Ah, alangkah indahnya
mengenang kehangatan sebuah keluarga di masa kecil. Dulu Mama dan Bapak (saya
tidak memanggil ayah saya dengan sebutan Papa), sering mengajak saya mengikuti
lomba menggambar, dan membelikan saya peralatan menggambar.
Kini semuanya hampir
memiliki banyak perubahan. Ketika saya sedang jatuh terpuruk didera
permasalahan hidup, saya tidak menunjukkan air mata kepada Mama, meskipun saya
yakin, intuisi seorang ibu sangatlah tajam. Tak jarang ia bertanya semisal ini,
“Lagi ada masalah, ya…? Cerita dong ke Mama….” yang biasanya langsung saya
balas dengan senyuman kecut atau gelengan kepala. Jika saya membohongi Mama,
saya tidak berani menatap matanya.
Namun kekompakan hati itu
seolah masih terjaga dengan kuat sampai sekarang. Mama adalah ibu yang memiliki
selera humor yang kuat, dan itu yang membuat saya menilai dia unik. Mama adalah
pekerja keras, seorang Cancer yang setia kawan, dan emosional. Jika ada hal
yang lucu sedikit saja, dia langsung tertawa terbahak-bahak. Tak jarang ia
menertawakan kesedihan. Namun ia juga menangis tersedu-sedu sampai kehilangan
selera makannya selama berhari-hari, ketika ayah saya meninggal dunia pada
tahun 2010. Tapi jangan salah, Mama adalah perempuan kuat, makhluk hebat.
Pekerjaan yang dilakukan oleh lelaki, ia sanggup mengerjakannya. Bahkan, Mama
dan Nenek memiliki satu kesamaan; sering menggaruk tubuhnya dengan sisir atau
sisi pisau yang tumpul. Agak aneh, tapi nyata dan ada.
***
Hari ini hujan turun
dengan deras, sesekali gerimis namun awet. Saya masih berada di meja kantor
saat tulisan ini sedang saya selesaikan. Saya membayangkan Mama berurai air
mata saat perjalanannya menuju Madiun. Jarak yang ia belah dengan kesedihan dan
kenangan manis dengan ibunya. Saya berdoa agar Nenek diberikan tempat terbaik di
sisi-Nya. Mama diberikan ketabahan dan kekuatan. Dan di sisa hidup saya ini,
saya senantiasa diberikan kesanggupan untuk membahagiakan hati Mama. Aamiin.
Posted by Unknown in Diary Dhika
2 comments
Pages
Powered by Blogger.