Archive for January 2013
Malam ini udara menyebarkan hawa dingin hingga membuat
sweater yang kukenakan nyaris tidak
ada gunanya sama sekali. Maklum, hampir sepanjang hari ini Jakarta diguyur
hujan yang meski tidak dihiasi petir, namun tak kunjung reda.
Aku
bersyukur hujan tidak mengguyurku saat pulang ke rumah saat ini. Tanpa sadar,
aku menggigil dan masih terus melangkahkan kaki dengan tangan bersidekap di
dada, kepala agak kutundukkan.
Seperti
biasa, perkampungan tempatku tinggal selalu dihiasi anak-anak kecil yang
duduk-duduk manis bersama-sama di bangku kayu panjang berlapis kardus yang
menjadi penghias gapura di muka gang. Ada juga seorang ibu yang sengaja
menjegat pedagang sekoteng, demi sekedar menghangatkan badan.
Seperti
api lilin di gerobak sekoteng yang berpendar melawan dinginnya malam setelah
hujan, tubuh yang menggigil ini seperti dialiri energi begitu dihempas peluk
dan cium pipi kanan-kiri dari kedua adikku yang masih kecil-kecil. Yang sulung,
Nisa, usianya enam tahun. Dan si bungsu, Fikri, usianya tiga tahun. Kedua bocah
ajaib ini sangat manja kepadaku.
“Bang
Ilham pulang!!! Hore…, Bang Ilham pulang!!!” seru Fikri senang, menyebut-nyebut namaku.
“Jajan
dong nih…? Kata Ibu, Abang gajian hari ini!” celetuk Nisa getol.
“Tapi
Abang mau mandi dan sholat dulu ya. Badan Abang udah bau ayam kampung nih!”
“Huuuuh…,”
Nisa cemberut manja.
“Nisa,
Fikri, biarin kakak kalian mandi dulu. Nanti kalian juga jadi diajak ke warung,”
kata ibuku yang muncul dari dalam kamarnya, menyadari kegaduhan kecil ini.
Mereka menuruti perkataan Ibu.
Aku
mencium tangan Ibu. Ibu lalu menoleh ke arah adikku selain Nisa dan Fikri.
Dialah Fina, adik pertamaku yang sudah duduk di bangku SMA. Fina yang sedang
asyik-asyikan nonton film di tv tanpa sedikit pun menghiraukan kedatanganku,
sontak menoleh ketika Ibu menyebut namanya.
“Fin…
masakin air panas, tuh, buat kakakmu. Biar dia mandi air hangat, kasihan pasti
kedinginan karena hujan.”
“Ya.”
Dengan agak malas-malasan, Fina pun bangkit dari sofa, dan berjalan menuju
dapur.
Aku
menghempaskan pantat di kursi butut ruang tamu ini. Lelah rasanya setelah
seharian bekerja, menghabiskan masa mudaku di Percetakan Amanah, sebuah
percetakan sederhana yang dinaungi penerbitan buku-buku pelajaran sekolah,
khususnya TK dan SD. Kerjaku menyusun dan merunut halaman demi halaman dari
tiap-tiap lembar yang akan dirapikan di mesin. Atau mengangkuti tumpukan
buku-buku yang sudah jadi menuju mobil milik percetakan, yang biasanya
mengantar langsung buku-buku itu untuk didistribusikan ke daerah-daerah. Seharian
aku duduk di meja bersama lima orang staf senasib-sepenanggungan lainnya,
menahan gerah dan pegal di punggung, dan baru merasakan sejuk di saat jam
istirahat yang selalu digunakan untuk makan dan sholat.
Ajaibnya,
tempatku bekerja yang semula kusetarakan dengan tempat fotokopi atau warnet,
yang dengan seenaknya saja bagi karyawannya untuk hanya memakai sandal jepit
dan kaos oblong, di tempat ini justru tidak. Kami seolah harus terlihat elit
bagi orang-orang luar yang melihat. Bayangkan, kami harus memakai sepatu.
Begitu
aku tersadar dari buaian lamunanku, ada wajah Ibu yang menyiratkan rasa
penasaran.
“Kok
melamun? Cepatlah mandi....”
Aku
bangun dari tempatku duduk.
“Bang…
air panasnya udah siap nih!!!” teriak Fani dari dalam.
“Iya....”
sahutku.
“Oh
iya Ilham,” panggil ibuku tiba-tiba. “Nanti selesai sholat, ibu mau ngomong
sama kamu.”
***
Aku
sudah duduk di meja makan. Rambutku masih menebar aroma shampo karena baru saja
mandi dan sholat. Semangkuk mie rebus rasa ayam bawang terhidang di hadapanku.
Dihiasi telur dan irisan cabe rawit. Ditambah sedikit nasi dan segelas besar
teh manis panas. Beginilah keluarga kami. Sederhana, tapi tetap terasa mewah
andai kau melihatnya disertai rasa syukur.
“Katanya
Ibu mau ngomong,” celetuk bibirku di sela-sela kegiatan makan ini.
Aku
berkata begitu karena sejak tadi ekor mataku menangkap Ibu yang memandangiku
dari seberang meja, walau kutahu dia sedang menyisir.
“Makan
dulu saja, lah. Ini bukan hal baru buat kamu.”
“Nggak
pa-pa, bilang aja,” desakku tak sabar sebelum kuhirup hati-hati teh manis yang
masih mengepul itu. “Kalo Ilham bisa bantu, Ilham bantu kok Bu,” kataku.
Ibu
diam sebentar, dan malah menggumam: “Kapan ya, Ilham, kita sekeluarga terbebas
dari kesusahan hidup ini… Kalau aja Bapak masih sehat dan nggak sakit-sakitan,
mungkin kamu bisa kuliah dan bukan malah kerja bantuin adik-adik kamu!”
Aku
justru tersenyum mendengarnya.
“Justru
kesusahan ini harus kita anggap sebagai ujian dari Allah. Yang musti kita
jadiin motivasi supaya kita bisa mengubahnya menjadi kemudahan. Batu di tengah
jalan nggak akan bisa bikin langkah kita terhenti karena kita bisa
menyingkirkannya ke tepi. Lagian kadang aku ngerasa bangga juga kok bisa
nyekolahin Fina dan Nisa. Aku jadi tau gimana susahnya cari duit.”
Kenyataannya
pribadiku bertentangan dengan apa yang kuucapkan barusan. Aku yang mudah bad mood, dan sering mengecilkan diri sendiri,
bisa bicara seperti ini kepada ibuku. Dan ketahuilah, ibuku, mungkin engkaulah
satu-satunya orang yang membuatku mendadak menjadi kuat bagaikan tombak yang
kokoh, mendadak selalu berpikir positif dan yakin aku bisa melewati ini semua.
“Minggu
depan Fina harus melunasi SPP-nya selama tiga bulan. Empat ratus delapan puluh
ribu. Belum lagi bulan depan mesti ikut bimbel, empat ratus ribu. Heran, dunia
pendidikan kita kok seperti ini, ya. Apa sekolah gratis itu hanya ada di negeri
dongeng? Negeri impian?”
“Ya
udah, Ilham habisin makan dulu ya, Bu. Ibu tenang aja, SPP Fina biar Ilham yang
ngurusi,” sahutku enteng.
Sepuluh
menit sesudahnya, setelah aku menggosok gigi, kusibak tirai merah tua bergambar
angsa terbang di ambang pintu kamar Ibu, dan kuhampiri dia yang sedang duduk di
tepi pembaringan sambil memperhatikan dengan saksama kalender meja di
tangannya. Ada ayahku yang masih pulas tertidur di belakang tubuh Ibu. Kasihan,
walau kesehatannya sudah mulai membaik, tapi dia masih terlihat lesu karena
penyakit ginjal yang dialaminya. Aku duduk di sebelah Ibu dan kuserahkan amplop
putih yang sejak tadi kupegang untuknya.
“Buat
SPP Fina. Sama nebus obat buat Ayah.”
Ibu
terlihat seperti tidak enak dan kasihan kepadaku.
“Ilham!
Ini… semua? Semua?”
“Lho,
kenapa? Cukup kan, kalau untuk SPP Fina sama obat buat Ayah?”
“Iya
sih…” Ibu garuk-garuk kepala. “Tapi sisanya… kamu nggak pegang?”
“Nggak
usah sekarang juga nggak pa-pa, Bu.”
“Tapi
kan Ibu dengar-dengar kamu lagi ngumpulin uang buat beli sesuatu…?”
“Bulan
depan juga bisa, lah, Bu. Nggak penting-penting banget kok.”
“Terima
kasih ya, Ilham.”
“Iya
Bu. Ya udah, Ilham ajak si Nisa dan Fikri jajan ke warung ya.”
“Ya,
ingat jangan terlalu manjain mereka. Jajan secukupnya aja. Ingat, kita harus
prihatin!”
Aku
hanya membalas perkataan itu dengan senyuman.
***
Seminggu
kemudian aku terlihat sumringah. Pasalnya, Ibu memberitahuku bahwa ternyata
biaya bimbingan belajar Fina bisa dicicil! Alhamdulillah…! Apa bukan berita
gembira namanya? Yang lebih menggembirakan lagi, aku mendapat bonus bulanan dari
tempat kerjaku. Seratus lima puluh ribu rupiah. Alhamdulillah, rejeki tak
terduga setelah aku berurusan dengan SPP Fina yang menguras seluruh gajiku
nyaris tanpa sisa, kecuali tiga lembar uang dua ribuan dan beberapa keping lima
ratusan.
Pulang
kerja aku mampir ke mal di mana selama dua bulan ini aku memendam keinginanku
yang paling rahasia untuk membeli sebuah sepatu. Untuk ukuran cowok muda yang
penampilannya tidak modis dan cenderung cuek sepertiku, sepatu itu lumayan
keren bagiku. Apalagi sedang diskon gede-gedean, yang tadinya seharga tiga ratus
ribu rupiah, kini sepatu itu bisa kugondol ke rumah dengan uang seratus lima
puluh ribu rupiah.
Bukannya
aku sok-sokan kepingin terlihat gaya. Tapi di samping memiliki keinginan untuk
beli sepatu itu, memang kenyataannya aku butuh sepatu saat ini! Pasalnya, tiap
hari aku harus selalu menekuk kelingking kaki kananku agar kaos kaki putihku
tidak melongok keluar dari tepi sepatu kananku yang bolong! Kalau lagi
keasyikan bengong sambil jalan kaki, ada saja mata-mata usil yang melirik
kelingkingku yang dilapisi kaos kaki seputih salju ini. Senyum mereka itu lho,
duh, bikin gondok saja!
“Ada
yang bisa dibantu, Mas?” salah seorang pramuniaga toko sepatu itu menghampiriku
di saat aku lagi asyik-asyiknya melamun! Dugaanku, dia sudah hapal raut wajahku
karena selama hampir dua bulan ini aku mondar-mandir terus ke sini hanya untuk
memandang, meraba, dan menimang sepatu-sepatu keren yang di-display di toko sepatu ini, tanpa
membeli!
“Oh…
eh…. Anu, Mas, aku cari sepatu kets yang diskon 50% itu lho, yang warna cokelat!
Kok nggak ada, ya? Padahal kayaknya kemarin…”
“Oh,
yang selalu Mas pandangin terus tiap dateng ke sini?”
Mukaku
sepertinya spontan memerah mendengar ucapannya. “I-iya, kok tau?”
“Tenang
aja, Mas. Kalo Mas nggak buru-buru, besok barangnya dateng kok, karena stoknya
habis hari ini.”
***
Sesampainya
di rumah, aku disambut wajah cemberut Fina. Ada apa? Biasanya dia seperti itu
kalau habis diomeli Ibu. Ibu-lah yang menjawab keheranan di wajahku.
“Ilham,
sepertinya kesabaran kita benar-benar diuji oleh Allah!”
“Ada
apa, Bu?”
Ibuku
menyahut. “Fina kasih pinjam uang untuk teman sekelasnya, seratus ribu rupiah!
Pakai uang cicilan pertama bimbel! Sementara kita baru tahu ternyata cicilan
pertama bimbel harus dilunasi minggu ini! Duh… heran, punya anak kok, punya
rasa kasihan berlebih sama orang lain, sampai mengorbankan diri sendiri! Ingat
Fina, sekarang bukan zamannya jadi pahlawan kesiangan!” Dia menoleh ke Fina.
Fina
menunduk malu. Mengerut di sudut ruangan.
“Ya…,
ya. Mungkin emang bener kali ya, Ilham harus ekstra sabar. Bayar, bayar!” Aku tiba-tiba saja
mengeluarkan dompetku demi mengusir rasa khawatir berlebih Ibu.
Tapi
sesudahnya mereka berdua malah terlihat sedih dan kasihan padaku. Anehnya aku
terlihat seperti orang ngambek. Padahal aku tidak mau seperti itu. Tapi,
mungkin ada benarnya juga, ikhlas seorang anak ada batasnya. Inikah batas
keikhlasanku? Ah, tidak mungkin. Tidak boleh!
“Ilham
nabung buat beli sepatu. Keren modelnya. Diskon, lagi. Sepatu Ilham bolong
parah. Tapi kenapa selalu ada kejadian begini? Kenapa selalu ada kejutan
begitu?” celetukku di antara beningnya sayur bayam yang kusendokkan ke mulut.
“Sabar
ya, Ilham.”
“Tapi
Ilham nggak ngeluh kok, Bu. Ilham nggak mau mentingin diri sendiri. Ilham harus
sabar, Bu.”
“Begini,
Ilham. Kamu menganggap sepatu sebagai
‘kebutuhan’, Atau ‘keinginan’?”
“Maksud
Ibu?”
“Kalau
kamu dikasih sepatu yang bukan selera kamu, tapi berfungsi, kamu mau?”
Aku
belum sempat menjawab ketika Ibu berteriak memanggil nama Fina, menyuruhnya
membongkar sebuah rak tempat sepatu-sepatu bekas, dan menculik sebuah sepatu
berdebu di situ, untuk ditunjukkan di depanku. Dan memang ajaib! Sepatu itu
boleh saja bukan seleraku, tapi setelah dicuci Fina, dalam keadaan belum kering
pun sepatu itu terlihat kuat dan pasti awet! Warnanya hitam, model pantofel. Aku
hanya terbengong takjub. Ajaib! Kenapa harus di waktu yang bersamaan? Inikah
kejutan terbaru dari Allah?
Aku
selalu berpikir aku harus bersabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan yang
penuh teka-teki ini. Aku selalu berpikir bahwa aku harus siap menerima
ujian-ujian dari-Nya. Tapi…? Pernahkah aku berpikir bahwa kejutan dari Allah
tidak harus berupa cobaan? Satu contoh tentang pelajaran hidup telah aku petik
dari sini. Bahwa aku tidak boleh hanya memikirkan tentang masalah-masalah apa
saja yang kelak akan kami hadapi, namun juga berkah-berkah apa saja yang
menunggu kami kelak. Baik dan buruk hanya sekelumit misteri dari-Nya. Mungkin,
kita cuma perlu berserah diri, bukan malah menunggu sambil mencemaskannya.***
10 Desember 2009
Dimuat di
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012
Koran Satelit News (Radar Tangerang)
Sabtu, 10 Maret 2012
Reply
Poppy
berlari-lari kecil di sebuah gang kecil yang becek menghampiri sebuah rumah
petak yang tertutup pintunya. Dengan sisa-sisa semangat yang ada dia mengetuk
pintunya dengan pelan, seolah takut mengusik para penghuni di dalamnya. Gadis
cantik itu menggigil kedinginan dengan pakaian yang sedikit basah di sana-sini,
gara-gara terguyur gerimis.
“Poppy?” seorang perempuan berusia empat puluh tahunan
membukakan pintu dan memandangnya dengan iba. “Kamu nggak pulang lagi ke
rumah?”
Perempuan ini adalah Tante Kamila, mamanya Karin,
sahabat Poppy sekaligus teman sekelasnya di kelas XI IPA II di SMU Permata Hati
Bunda. Jelas Tante Kamila bertanya seperti itu karena penasaran sudah tiga hari
ini Poppy selalu datang mengenakan pakaian putih-abu-abunya.
“Tante, maaf ya aku mau ngerepotin lagi…” pinta Poppy memelas.
“Aku mau nginep lagi, Tante. Itu juga kalo Tante ngijinin.”
Tante Kamila menghela nafas iba. Dia tidak berani
menerka apalagi bertanya langsung pada Poppy apa gerangan yang menyebabkannya
ingin menginap di sini, di rumah mungil ini. Sepertinya Karin-lah yang lebih
tepat ditanyai.
“Pintu rumah ini selalu terbuka buat kamu, Poppy…”
***
Malam ini untuk ketiga kalinya Karin membagi tempat
tidur di kamarnya yang sempit untuk ditiduri dirinya dan Poppy, sahabatnya.
Karin iba melihat perubahan drastis dalam diri Poppy.
Sahabatnya yang tajir, kapan pun dan di manapun selalu diiringi tawa
kebahagiaan tanpa sekalipun terbersit di otaknya tentang keprihatinan menjalani
hidup pas-pasan, dan hidup selalu berkecukupan dengan segala pakaian-pakaian
trendy, motor pribadi, serta gadget
yang dia punya, kini gadis cantik itu hanya bisa berdiri terpekur di ambang
jendela kamar Karin, menatap kerlap-kerlip kunang-kunang di persawahan di
seberang kali kotor di luar sana. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dangdut
dari radio butut di warung jamu di dekat persawahan gelap itu, lumayan mengusir
kesunyian malam.
“Udah malem, Pop,” cetus Karin iba yang sedang membersihkan
tempat tidur dengan sapu lidi. “Tidur, yuk?”
Namun Poppy tidak menolehkan kepalanya sedikit pun,
apalagi menyahut. Karin lalu menyalakan obat nyamuk bakar di sudut kamar dan
setelahnya ia menghampiri jendela, tepatnya menghampiri Poppy.
“Lo tidur dulu aja, Rin. Gue masih pengen di sini…
mengenang semuanya.” Poppy berucap dengan dada bergetar. Matanya tampak jelas
berjuang keras menahan air mata.
“Mengenang apa?” tanya Karin sedih.
“Ya semuanya. Nyokap gue. Bokap gue. Adek gue. Dan
semua itu berubah semenjak nyokap gue…” Poppy tidak sanggup meneruskan
kalimatnya.
“Poppy…” Air mata tak terasa mengalir dari kedua pipi
Karin saat dengan refleks ia memeluk tubuh Poppy. Karin memang memiliki rasa
empati yang tinggi, ia gampang merasakan apa yang orang lain rasakan.
Poppy menjatuhkan air mata di bahu Karin, membuat bahu
Karin sedikit basah. Namun Karin seolah tidak merasakannya, ia justru mengelus-elus
punggung Poppy, menenangkannya.
“Jadi, sampai sekarang bokap-nyokap lo masih belum
damai...?” tanya Karin prihatin.
Karin merasakan tekanan yang berulang-ulang di
bahunya, pertanda Poppy mengangguk.
“Justru makin parah…” Poppy masih terisak. “Rumah gue
udah nggak ada lagi suasana harmonis sama sekali, Rin. Kedamaian yang dulu
pernah gue rasain, kini semuanya ilang…”
Setelah meringankan kesedihan Poppy dengan segelas air
putih, Karin akhirnya berhasil membujuknya ke tempat tidur. Mereka terlentang
berdampingan menatap langit-langit kamar, dan pada polosnya langit-langit kamar
seolah terukir bayangan tentang kisah sedih yang diuraikan oleh Poppy…
Akhir-akhir ini, Tante Lidya, mamanya Poppy, terlihat
sangat dekat dengan Om Danu, mantan kliennya di kantor. Membuat Om Arjuna,
papanya Poppy, sedikit cemburu. Dan bukannya meminta maaf, Tante Lidya malah
mencari-cari alasan dan menunjuk bahwa Om Arjuna adalah seniman egois yang
tidak pandai membagi waktu antara saat-saat untuk “ada” ketika dibutuhkan
perhatiannya, dan saat-saat untuk berkutat dengan pekerjaannya sebagai seorang
pelukis. Puncaknya, yang ditemui di rumah Poppy adalah perselisihan paham, karena
tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.
Dan sebagai ibu rumah tangga sekaligus wanita karir,
Tante Lidya merasa harus tetap profesional menjalankan pekerjaannya, dia tidak
mau membawa masalah rumah tangga ke dalam pekerjaannya. Ketika di rumah dia
sudah tidak dapat menghindari pertengkaran yang memakan hati dan perasaan, dia
semakin giat menghadapi tumpukan pekerjaannya di kantor. Singkatnya, dia ingin
menghindari rasa bersalahnya dengan berbagai kesibukan.
Sementara Om Arjuna yang sangat mencintai ketenangan
di dalam rumah tangganya, merasa tidak perlu membesar-besarkan masalahnya
dengan istrinya. Hanya saja, sifatnya yang labil sering menyebabkan
pertengkaran bahkan Poppy pernah melihatnya hampir berbuat kasar.
Kini dia mencintai sekaligus membenci istrinya. Di
antara serpihan kekecewaannya sebagai seorang kepala rumah tangga, dia masih
menaruh harapan pada Poppy dan si bungsu Tobby yang masih duduk di bangku SD.
Mereka berdua-lah alasan Om Arjuna untuk memunguti serpihan kekecewaan itu,
menjadi semangat jiwa untuk menatap hari esok!
Malam sudah semakin larut dan berangsur-angsur rasa
kantuk membuat cerita Poppy menguar di udara. Pada akhirnya mereka tersembunyi
di balik lindungan selimut dan diam-diam telunjuk mama Karin menekan tombol
sakelar untuk mematikan lampu kamar.
Dalam kegelapan kamar yang disinggahi cahaya temaram
sang rembulan, Tante Kamila mengecup kening Karin dan Poppy. Saat Tante Kamila
melangkah keluar, diam-diam air mata Poppy meleleh.
***
Satu sekolah heboh. Poppy sudah seminggu tidak masuk
sekolah. Tanpa pemberitahuan, dan tanpa pesan. Guru-guru pun mengaku tidak tahu
apa-apa sehubungan dengan menghilangnya Poppy. Terlebih lagi tak ada seorang
pun yang bisa ditemui di rumah Poppy.
Bukan hanya guru-guru dan teman-teman yang panik, tapi
juga Karin dan mamanya. Karin tidak punya handphone,
jadi dapat kabar dari mana selain Poppy menunjukkan batang hidung di depannya.
“Karin! Tunggu…!” seorang cowok berlari menghampiri
Karin yang sedang berjalan murung di koridor sekolah.
Karin menghentikan langkahnya dan membiarkan cowok itu
berhenti di hadapannya. Dia adalah Sandy, cowok cool yang selama ini menjadi pujaan hati Poppy.
“Ya?” Karin mengerutkan alis.
“Lo udah tau di mana Poppy?” Sandy bertanya cemas.
Karin
menggeleng antara sedih dan sebal. Kenapa dia baru memedulikan sekarang? Kenapa
di saat keberadaan Poppy tidak diketahui ada di mana? Seandainya cowok ini tahu
betapa sakitnya Poppy memendam perasaan!
Selama ini Poppy hanya bisa menyimpan kekaguman kepada
cowok kalem ini, Karin tahu itu karena dulu Poppy pernah curhat padanya tentang
perasaannya pada Sandy. Tapi itu dulu. Poppy seperti berusaha menarik
perkataannya semenjak dengan terang-terangan Sandy menitip salam untuk Karin
melalui Poppy, dan berharap Poppy menjadi mak comblang antara dia dan Karin.
Wah, Karin masih belum bisa melupakan bagaimana merahnya wajah Poppy saat
menyampaikan salam manis untuknya dari Sandy! Karin tahu Poppy pura-pura tidak
ada apa-apa saat menyampaikan salam manis dari Sandy, tapi mata Poppy bicara,
dan gerak tubuhnya menjawab apa yang sebenarnya berkecamuk di hatinya. Melihat
kepura-puraan Poppy, justru Karin merasa tidak enak hati.
Dan sekarang, cowok ini berdiri di hadapan Karin! Demi
Tuhan, Karin tidak mengagumi cowok ini sejengkal pun dan lagipula Karin merasa
persahabatannya dengan Poppy jauh lebih berharga daripada urusan cowok semata!
“Peduli apa lo sama dia?!” Karin tidak sanggup menahan
emosinya lagi.
“Kok lo emosional gitu sih jawabnya?!” cetus Sandy
heran. “Gue cuma...” Dan sebelum Sandy menyelesaikan kalimatnya, Karin sudah meninggalkan
cowok itu dengan membawa perasaan kesal yang kurang beralasan.
Dalam hati Karin menyesal juga karena sebenarnya Sandy
toh tidak tahu tentang perasaan Poppy. Tapi biarlah, Karin merasa puas
meninggalkan Sandy yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
***
Malam harinya, di dapurnya yang mungil Karin dan
mamanya duduk berhadapan di meja makan sambil menikmati hidangan mie instan
pakai telur setengah matang. Asap mengepul-ngepul dari mangkok dan kehangatan
mie instan sanggup melawan hawa dingin yang disebarkan derasnya hujan di luar.
Sementara Widya, adik Karin yang baru menginjak usia
enam tahun, duduk di lantai menyuapi si bungsu Kamal (usianya tiga tahun) nasi
pakai sayur sop dan dua iris tempe.
Dan ketenangan itu tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan
di pintu yang tidak terdengar keras, namun cukup untuk membuat Karin dan
mamanya bertukar pandangan menebak.
Benar saja. Begitu Karin dan mamanya menghambur ke
pintu untuk melihat siapa orang di baliknya, gadis cantik itu berdiri dengan
kondisi yang sangat memprihatinkan: Poppy. Dia menangis tersedu-sedu dan
langsung menubruk tubuh Karin dan langsung memeluknya. Di bahu Karin dia seolah
menumpahkan sekaligus membagi duka laranya. Dan untuk kesekian kalinya air mata
Poppy mampir di bahu Karin.
Dengan ikhlas dan sabar Tante Kamila membimbing Poppy
ke dapur, menyuguhkan secangkir teh manis hangat untuk meringankan
kesedihannya.
“Kalian baik banget…” tak henti-hentinya Poppy
berterimakasih sambil menghirup pelan teh manis itu dengan tangan agak gemetar.
“Kami hanya ingin meringankan bebanmu sebisa kami, Nak…”
ujar Tante Kamila. “Ceritalah apa yang ingin kauceritakan. Kami selalu membuka
lebar-lebar telinga dan hati kami…”
***
Om Arjuna, papanya Poppy, ternyata mendapat serangan
jantung dan sudah seminggu ini dia dirawat di rumah sakit. Berhari-hari Poppy
menungguinya di sisi pembaringan tanpa sesaat pun ia meninggalkan ayah
tercintanya itu.
Om Arjuna mengaku sangat terpukul karena Tante Lidya
tidak dengan terang-terangan mengaku jatuh cinta kepada Om Danu! Mendengar
cerita dari papanya, jantung Poppy berdebar diguncang kekecewaan, marah, dan
sakit hati. Ternyata ini yang dia dapat di balik kesibukan mamanya sebagai
seorang wanita karir. Perihnya!
Om Arjuna bilang, tidak apa-apa dia sudah kehilangan
cinta dari seorang wanita yang sangat dicintainya. Alasannya, dia masih
memiliki dua orang anak yang sangat dicintainya. Dan dia menaruh harapan besar
kepada Poppy dan si bungsu Tobby.
Kondisi Om Arjuna semakin membaik dan Poppy
menyelesaikan ceritanya sampai di situ, setidaknya ketika dia bercerita di
ruang makan.
“Terus?” tanya Karin tak sabaran, sesaat setelah dia
dan Poppy membaringkan tubuh berdampingan, seperti biasa menghadap
langit-langit kamar yang akan terukir cerita dari Poppy.
“Terus, ternyata ada Sandy ngejenguk bokap gue,” ujar
Poppy sumringah. “Sekarang dia yang gantian nungguin bokap di rumah sakit,
sementara gue minta ijin nginap di sini untuk ngabarin kalian, trus besok gue
udah masuk sekolah.”
“Hah? Kok bisa?” Karin mengalami dua rasa kaget
sekaligus. Pertama, kenapa Sandy tahu Om Arjuna dirawat dan menjenguknya.
Kedua, kenapa seolah ada rona bahagia yang kasat mata saat Poppy menyebut nama
Sandy!
“Semua karena ada cinta lain yang datang diam-diam,”
jawab Poppy. “Setelah sebelumnya cinta juga pergi diam-diam dalam keluarga
kami…”
“Maksudnya?”
“Karin. Sebenernya gue jahat banget sama elo. Selama
ini gue ngiri, cemburu, sekaligus terkadang mengutuk kesempurnaan lo. Di balik
kehidupan lo yang miskin–punya nyokap janda dan tukang jahit–elo hidup dalam
lingkaran cinta yang membahagiakan. Cinta yang nyokap lo punya, ditunjukin
secara terang-terangan dan tanpa ragu sama sekali. Dan ngomong-ngomong tentang
Sandy, ternyata dia…”
Poppy bercerita, kalau siang tadi Sandy menyatakan perasaannya
pada Poppy. Mereka sudah jadian! Rupanya sejak lama Sandy mengetahui perasaan
Poppy yang terpendam. Dan dia hanya ingin membuat Poppy cemburu dengan cara
selalu menyampaikan salam untuk Karin. Sampai akhirnya dia yakin tentang
perasaan Poppy dan dia hanya tinggal menunggu waktu yang tepat saja untuk
menyatakan bahwa dia pun juga merasakan gejolak cinta yang sama! Wah, ternyata!
“Dan satu hal lagi yang membuat gue semakin yakin
bahwa nggak ada gunanya terus-terusan bersedih...”
“Apa?” Karin semakin penasaran.
“Nyokap lo...” jawab Poppy. “Dia bilang, gue boleh panggil
dia ‘Mama’. Dia bilang gue udah kayak anak kandungnya sendiri. Dia bilang gue
boleh tidur di rumah ini kapan pun gue mau! Elo nggak marah kan…? Karin, lo
nggak marah kan…?
Bagaimana mungkin aku marah, Poppy, bisik Karin dalam
hati. Kamu adalah sahabatku dan kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga. Aku
juga tidak mau kamu hidup dalam perasaan cemburu, melihat si Karin yang miskin
ini tapi berkelimpahan cinta dari seorang ibu yang janda namun memiliki
ketegaran yang mengagumkan.
Ibuku adalah matahari yang menerangi setiap langkahku
dan mulai sekarang akan kubagi matahariku untuk menerangi hidup kita karena aku
sangat menyayangimu, Sobat. Tidurlah yang nyenyak dan aku ada di sampingmu
karena kini kita adalah saudara walau terlahir dari rahim yang berbeda.
“Apa perlu gue jawab?” balas Karin. “Yang elo perlu
malam ini adalah tidur, dan cuma mimpi indah yang harus kita dapetin malam ini….”
Aku
mencintaimu, Bara. Tapi….
Aku tak jadi meneruskan kalimat pada sms
yang kutulis, dan segera men-delete-nya.
Tak baik rasanya bila lewat tengah malam begini aku mengganggu Bara, yang
mungkin saja tengah tertidur lelap, walaupun dia adalah pacarku.
Namaku
Windy. Sudah tiga bulan aku dan Bara menjalin hubungan yang disebut pacaran
ini. Dia datang di saat aku sedang berusaha bangkit di atas puing-puing
kekecewaanku karena dikhianati pacarku. Dan aku beruntung bisa bertemu
dengannya.
Bara
adalah cowok populer di kampusnya. Selain aktif di Mahasiswa Pecinta Alam, dia
juga seorang model iklan dan sekarang sedang rajin-rajinnya mengikuti kursus
akting. Bara sebetulnya adalah cowok pemalu, dia ingin terjun ke dunia entertainment karena dukungan dari mamanya dan juga orang-orang di
sekitarnya yang menyarankannya untuk memanfaatkan ketampanannya. Aku sih
setuju-setuju saja dengan pilihan Bara. Bukankah kalau dia berhasil, dia akan
menuai popularitas dan meningkatkan kesejahteraan keluarganya? Dan lagipula,
aku juga pasti akan kecipratan. Walaupun aku nggak tahu sampai kapan dia akan
mempertahankanku sebagai pacarnya. Bukankan cowok selalu gampang bosan? Apalagi
kalau punya banyak uang.
Namun
terlepas dari itu semua, Bara adalah keajaiban bagiku. Dia menyadarkanku kalau
Bumi pasti berputar. Mentang-mentang aku putus cinta, bukan berarti aku patah
semangat dan tidak mau lagi membuka hatiku untuk cowok, kan? Meskipun demikian,
rupanya ada sesuatu yang mengganggu hari-hari dan malam-malamku beberapa hari
ini. Ya, sejak tiga hari yang lalu tepatnya.
Siang
itu aku dan dia makan berdua di kantin kampus, dan mengobrol dengan ceria
seperti biasanya. Tiba-tiba handphone Bara
berdering, memperdengarkan sebuah lagu yang entah siapa penyanyinya dan apa
judulnya, yang jelas lagu itu bukan seleraku. Dan aku sempat membaca kegugupan
di wajah tampan itu. Sesaat setelah dia melihat barisan nomor asing di layar handphone-nya, dia langsung bangkit dari
duduknya dan menjauh dariku, lalu menjawab teleponnya di sudut kantin. Dan aku
sempat melihat keseriusan di wajahnya.
“Siapa?”
tanyaku, nyaris mendesak, saat dia sudah kembali duduk di hadapanku.
“Bukan
siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Dia menggeleng.
Ya
Tuhan. Bantu aku untuk mengenyahkan perasaan curiga yang tiba-tiba merayap di
dalam hatiku ini. Yang aku tahu, Bara adalah cowok setia. Dia baik. Tapi kenapa
sikapnya harus seperti itu? Kenapa dia seperti berusaha menutupi sesuatu?
“Kamu
kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibir
Bara, mengusir lamunanku tentangnya.
Aku
diam saja, daripada berbohong lebih baik tidak menjawab.
Mungkin
karena tidak ingin aku ngambek terlalu lama, dia menghampiri konter es krim dan
membelikanku es krim vanilla kesukaanku. Ya, Bara memang senang memberiku
kejutan. Dia tahu aku paling suka es krim vanilla, dan dia juga tahu bagaimana
cara menyenangkanku.
Ah,
Bara....
Kita
sama-sama punya masa lalu. Sama-sama pernah punya pacar. Dan sama-sama kepingin
memperbaiki persepsi kita tentang makna pacaran. Kamu inginkan hubungan yang
apa adanya dan santai untuk dijalani. Sedangkan aku inginkan kejujuran dari
kita, apa pun itu.
Tapi
sejak handphone-mu selalu berbunyi...
dan kau selalu menghindar dariku saat kauangkat teleponnya....
Aku mencintaimu, Bara. Tapi... apakah kamu
layak untuk kucintai?
“Es
krimnya keburu meleleh, Beb.” Dia mengusir lamunanku lagi.
***
Lagi-lagi lagu Afterlife
dari Avenged Sevenfold berbunyi nyaring dari handphone-ku, pertanda ada yang menelepon. Dan, betapa sial, kali
ini lagu itu terdengar justru di saat aku sedang duduk berdua dengan Windy di
kantin kampus tempat kami kuliah. Bukan karena bunyinya, tapi karena nomor
asing yang tertera di layar handphone
sudah kukenal.
Sempat
kulirik mata Windy yang memandangku curiga. Namun, entahlah, perasaanku tak
enak. Pasti cewek aneh itu lagi. Aku langsung mengesampingkan keasyikanku
dengan Windy.
“Sebentar
ya Beb,” kataku pada Windy.
Aku
langsung menjauh darinya dan berlari kecil ke sudut kantin, tanpa menghiraukan
tatapan matanya, sekaligus perasaannya.
“Halo?”
sapaku bosan.
“Ini,
beneran nomor Bara, kan?” tanya suara cewek di seberang sana. Demi Tuhan, aku
bosan mendengar pertanyaannya yang selalu sama. Buang-buang waktu saja!
“Hai,
sebenernya kamu siapa ya?” bentakku tak sabaran. “Bukannya dari kemaren-kemaren
aku bilang ‘iya’ kalo namaku Bara?”
Sesaat
hanya ada kebisuan di seberang sana. Lalu lanjutnya:
“Maaf,
aku cuma takut kamu bo’ong.” Perkataan yang jelas membuat emosiku memuncak.
“Emangnya
kalo aku bo’ong kenapa, kalo aku bener juga kenapa?”
“Ya
nggak kenapa-napa.” Dia malah tertawa. “Aku cuma ngerasa ajaib aja, bisa
ngomong sama calon artis seganteng… Bara.”
Entahlah,
apa warna pipiku saat cewek itu mengucapkan kalimat barusan. Yang jelas, aku
risih, dan sangat tidak suka mendengarnya.
“Sebenernya
mau kamu apa sih?” bentakku lagi.
“Aku?
Aku pengen ketemu sama kamu, Bara.” Cewek itu berterus terang.
“Buat
apa?”
“Ngobrol.”
“Ngobrol?”
“Iya.”
“Aku
nggak mau. Nanti ada yang marah, tau.”
Klik!
Aku langsung mematikan hubungan telepon. Dan melesat cepat menghampiri Windy.
Aduh, benar saja dugaanku. Windy cemberut! Tapi, nggak penting juga kalau aku
cerita tentang cewek aneh yang barusan telepon aku. Buat apa juga, hanya akan
mengganggu Windy.
“Siapa?”
tanya Windy seperti mendesak, namun aku menghargai sikapnya, yang menurutku
wajar-wajar saja.
“Bukan
siapa-siapa, kayaknya cuma salah sambung, Beb.” Aku menggelengkan kepala.
Ya
ampun, biasa deh si Windy. Kenapa dia selalu cemberut, dan kayak orang yang
pikirannya menerawang begitu. Ayolah Beb, jangan negative thinking gitu. Aku sendiri pun nggak bisa ngejelasin siapa
cewek aneh yang selama tiga hari ini selalu neleponin aku.
“Kamu
kenapa sih? Kamu curiga sama aku?” pertanyaan sebal yang meluncur dari bibirku,
membuatnya berhenti melamun.
Namun
dia diam saja.
Aku
ingin dia berhenti ngambek, dan stop
untuk mencurigaiku, karena hal itu takkan bisa dibuktikannya. Kubelikan dia es
krim vanilla kesukaannya di konter es krim di sudut kantin. Agar dia tahu kalau
aku perhatian padanya dan aku masih ingat kalau dia penggemar es krim vanilla.
Emosi
Windy nampaknya mulai reda. Dan hal itu membuatku lega.
Malam
harinya, cewek aneh itu meneleponku lagi. Ralat, mungkin lebih pantas dibilang
cewek gila, daripada cewek aneh. Aku sengaja tak mengangkatnya, namun rupanya
cewek gila itu tak menyerah. Sampai lima kali handphone-ku bernyanyi, sampai-sampai ayahku yang berada di ruang
sebelah, memanggil-manggil namaku agar segera mengangkat telepon.
“Ada
apa lagi…?” baru meng-klik tombol yes,
aku sudah memarahinya.
“Kebun
Raya Bogor, hari Minggu.” Hanya sepotong kalimat itu yang kudengar, membuat
kepalaku nyaris migrain.
“Hey,
maksudnya apaan nih?” desakku penasaran campur sebal.
“Kita
harus ketemu di Kebun Raya Bogor, dua hari lagi. Hari Minggu. Oke?” nada
bicaranya itu seperti tertekan.
“Iya,
tapi buat apa? Maksudnya apa?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan bingung.
“Kalo aku nggak mau, gimana?”
“Kalo
kamu nggak mau, kamu akan nyesel.”
“Ha-ha-ha.”
Sumpah, aku nggak takut sama ancaman dia.
“Terserah.
Kamu ketawa sekenceng apa pun, yang jelas kamu akan nyesel karena pacaran sama
Windy.”
Klik!
Untuk pertama kalinya cewek gila itu yang lebih dulu memutuskan hubungan
telepon. Dan untuk pertama kalinya pula, dia membuatku tak bisa tidur malam ini....
***
Daun-daun berguguran dari setiap pepohonan yang sangat
besar dan kokoh, serta tinggi menjulang, di Kebun Raya Bogor yang sangat ramai
di Minggu pagi ini. Dan aku sangat menikmati daun-daun berguguran itu, rasanya
seperti aku berada dalam cerita sebuah komik romantis. Terlebih lagi saat aku
melewati jembatan dan di bawahnya terhampar sungai-sungai bebatuan.
Setahun
yang lalu tempat ini pernah menorehkan luka yang amat dalam di hatiku, di cintaku,
dan juga di mimpi-mimpiku....
Kamu
jahat, Bara. Kamu harus merasakannya. Bagaimana sakit dan perihnya.
Tiba-tiba
handphone-ku berdering dan nama Bara
tertera di layar. Klik! Aku hanya menempelkan handphone di telinga, tanpa sudi menyapanya terlebih dahulu.
“Halo,
kamu udah di mana…?” kejar Bara.
Sebelum
kujawab pertanyaannya, kututup bibirku dengan lipatan sapu tangan, agar suaraku
tersamarkan. “Kamu tunggu aja di Kafe Dedaunan…”
“Kafe
Dedaunan?” Aku membayangkan alisnya berkerut.
“Iya,
kamu tanya aja orang-orang di sekitar… tempatnya tuh ya hamparan rumput aja,
banyak reruntuhan daun di situ.”
“Aduh,
udah deh jangan bikin aku bingung. Di tempatku aja.”
“Ya
udah, kamu lagi di mana sekarang?” tanyaku sebal, sekaligus deg-degan.
“Aku
di deket kolam air mancur nih… pokoknya rumputnya bersih, dan banyak ilalangnya
juga…”
Ya
Tuhan, ilalang… aku benar-benar… tidak, dia pasti masih mengingat dan berkesan
dengan tempat itu…. Kalau tidak, kenapa dia memilih tempat itu.
Lima
menit kemudian aku sampai di tempat Bara berada. Aku berdiri di puncak
rerumputan yang menurun curam…. Dan di tepi kolam sana duduk seorang cowok yang
memunggungiku, tubuhnya terhalang batang-batang ilalang….
Aku
menuruni rerumputan dan memetik dua batang ilalang. Setahun yang lalu dia
memetik dua batang ilalang dan memberikan masing-masing satu untuk aku dan dia.
Di
sekitar kami tak ada siapa-siapa, hanya ada beberapa pengunjung dan itu pun
letaknya nun jauh di hamparan rerumputan luas di seberang sana.... Aku
melangkah dan kini hanya sejengkal dari tempat dia duduk di rumput....
Bara
menempelkan handphone-nya di
telinganya, dan tak lama kemudian handphone-ku
berbunyi.... Dia terlonjak kaget. Lebih kaget lagi saat melihat siapa cewek
yang berdiri di hadapannya....
“Helen?!”
Dia tampak sangat terkejut.
“Bara.”
Aku hanya mengucapkan namanya dengan nada lirih.
Dia
masih sama tampannya seperti terakhir kami bertemu. Hanya tubuhnya saja yang
terlihat agak gemuk. Bara.... kauapakan diriku, sampai aku tak sanggup
merelakan kepergianmu.
“Kamu…?
Jadi kamu yang…?”
Aku
kehilangan kendali, dan air mataku tumpah saat itu juga. Aku menubruknya,
memeluknya. Bara membalas pelukanku, walau kutahu mungkin dia melakukannya atas
dasar rasa iba.
Ya
Tuhan, jangan pisahkan kami... pintaku lirih. Aku nggak bisa hidup tanpa dia,
Tuhan... please....
“Kamu
kenapa nekat ngelakuin itu, Helen...?” tanyanya lagi dengan gugup, aku tahu dia
tak mungkin marah. Ya, dia adalah cowok terbaik yang pernah kutemukan.
Aku
menggeleng dalam pelukannya. Aku ingin dia tahu, air mata yang kujejakkan di
pundaknya tak akan pernah cukup untuk melukiskan rinduku padanya.
“Kita
udah putus tiga bulan yang lalu, Helen. Kamu harus tau itu.” Kudengar suara
pelan Bara.
“Kangen
kamu,” kataku singkat, makin memeluknya erat. “Kangen ilalang.”
“Helen…
kita udah nggak bisa sama-sama lagi…”
“Kenapa,
Bara? Aku bisa kok, merubah semua sifat jelek aku. Kalau kamu jengah pacaran
sama cewek yang menurut kamu terlalu over protektif, oke, fine. Aku akan merubahnya!”
“Tapi
sayangnya, Helen… udah ada cewek yang gantiin posisi kamu. Please, aku harap kamu ngerti…”
Aku
tahu, maka aku diam saja.
“Emangnya
kamu tahu apa tentang Windy?” tanya Bara.
Aku
tahu hanya karena pertanyaan itulah maka Bara mau datang jauh-jauh ke Kebun
Raya Bogor, agar dia tahu jawabannya. Padahal aku sama sekali tak tahu apa-apa
tentang Windy.
“Siapa
Windy?” Bara kini mendesakku dan melepaskan pelukanku.
Namun
handphone-ku berdering, dan kujawab
sambil menjauh dari Bara.
“Halo,
aku udah sampai nih!” Kudengar suara cewek di seberang sana.
Dan
aku menyuruhnya datang ke tempat ini. Lalu aku menutup telepon dan menghampiri
Bara, menunjukkan dua batang ilalang yang sejak tadi kupegangi dengan erat.
“Kamu
masih ingat, Bara…?”
“Ingat.”
Wajahnya merah jambu.
“Dua
batang ilalang menjadi saksi kita jadian. Dua batang ilalang menjadi saksi kita
putus.”
“Helen,
please.”
Aku
menangis di depannya, biarlah dia menganggapku lemah. Namun aku senang terlihat
lemah di depannya, karena dia harus tahu aku lemah tanpa cinta darinya! Dan dia
menghampiriku, lalu memelukku. Hanya saja, yang kudapat saat ini adalah hangat
pelukan seorang cowok kepada sahabat ceweknya. Walau terasa sekali respek
darinya.
“Kita
masih bisa temenan, tau.” Dia berbisik.
“Aku
bisa mati tanpa kamu, Bara. Kamu cinta mati aku....”
“Kenapa
kamu bisa bilang begitu…?”
“Karena
memang itu yang aku rasain.”
“Kamu
akan berhenti ngerasain itu, kalo kamu udah punya pengganti aku.”
Aku
menggeleng. Namun aku tak mau lepas dari pelukannya. Saat itu aku melihat sosok
cewek berlari-lari kecil menghampiri kami. Aku tahu namanya Windy. Dan cewek
itu menutup bibirnya dengan tangan, wajahnya terlihat terkejut.
Aku
tersenyum puas....
“Bara,”
pekiknya tertahan.
Dan
Bara yang dapat mengenali suara itu, langsung refleks melepaskanku dari
pelukannya. Dia membalikkan tubuhnya menghadap Windy, lalu bergantian menatapku
dengan ekspresi kaget dan marah....
“Jadi
benar, apa yang aku takutin selama ini.” Windy terisak. “Aku setengah mati
untuk positive thinking ke kamu,
tapi…”
“Windy,
jangan salah paham dulu! Kamu cuma…” Bara susah meneruskan kalimatnya. “…salah
paham. Aku sama dia udah nggak punya hubungan apa-apa!” lanjutnya sambil
menunjukku.
Dua
batang ilalang lepas dari genggamanku. Kenapa, Bara? Kenapa dengan gampangnya
kamu bisa melupakan aku? Aku seperti dicampakkan, kamu memang sudah tak
menganggapku lagi, dan Windy lebih penting bagimu, daripada aku!
Kamu
tahu, Bara, aku nggak mau kehilangan kamu!
Kudengar
Windy menangis: “Aku mencintaimu, Bara.
Tapi… apakah kamu layak untuk kucintai?”
“Layak,
Beb. Aku pasti setia sama kamu!”
Aku
langsung bergerak maju dan mendorong tubuh Bara hingga dia kehilangan
keseimbangan. Dia doyong dan terjatuh ke kolam air mancur… tubuhnya basah
kuyup. Rasanya puas sekali mendorong dia sampai jatuh ke kolam. Rasanya seperti
cemburuku ikut tercebur ke kolam itu juga.
“Bara!”
Windy menjerit kaget.
Dia
berlari menuju kolam, dan saat melewatiku dia memakiku sambil menunjuk wajahku:
“Gila kamu!”
Dengan
susah payah dia menolong kekasihnya agar bangun dari kolam dan menjejakkan
kakinya di rumput. Bara berterima kasih padanya, dan mataku sempat melihatnya
mengecup kening Windy. Mereka sepertinya tak mempedulikan keberadaanku, juga
perasaanku.
Tak
sadar aku melangkah menjauhi mereka, membawa air mata yang menemani kepedihanku.
Biar saja semua orang melihat air mata ini. Biar saja seluruh dunia melihat
betapa rapuhnya jiwa ini. Karena seluruh cintaku sudah tenggelam jauh di dalam
hati Bara, dan takkan terjangkau olehku lagi....
Cerpen ini pernah dimuat di Story Teenlit Magazine
Edisi 37 (September-Oktober 2012)
Pages
Powered by Blogger.